Showing posts with label Explore Blitar. Show all posts
Showing posts with label Explore Blitar. Show all posts

Sunday 5 February 2017

Mengunjungi kerajinan jimbe di Blitar

Perajin sedang menghias jimbe di Blitar, Selasa (31/3/2015).

Selain terkenal dengan kerajinan batok atau tempurung kelapa, Kota Blitar juga terkenal akan kerajinan kayunya. Salah satunya adalah kerajinan jimbe, kerajinan ini tak hanya terkenal di dalam negeri saja, namun juga dikenal di beberapa Negara di Asia, Eropa, dan Amerika.

Kerajinan ini terpusat di Kecamatan Kepanjen Kidul, berjarak sekitar 2 km dari makam Presiden pertama Indonesia, Soekarno. Tidak diketahui secara pasti sejak kapan kerajinan ini ada di sana, namun menurut warga setempat kerajinan ini  sudah ada sejak puluhan tahun yang lalu.

Salah satu perajin kayu, Nursanti (43) mengatakan, awalnya perajin di Kepanjen membuat produk mainan anak, seperti yoyo. Sampai pada tahun 2000-an, banyak perajin yang gulung tikar karena sepi order, hingga akhirnya beralih ke produk alat musik.


Perajin sedang membuat jimbe di Blitar,
Selasa (31/3/2015).
“Awalnya ada turis dari Jerman yang berkunjung ke sini untuk memesan jimbe, dia membekali satu buah jimbe untuk dibuat patokan dalam membuatnya,” ujarnya, Selasa (31/3/2015) Siang. Dikatakan Nursanti, sebelumnya para perajin belum pernah membuat jimbe.

Saat ini, ada sekitar 150 pengrajin di kecamatan Kepanjen, meliputi desa Tanggung, Santren, dan Ngadirejo. Produk yang dihasilkan cukup beragam, diantaranya jimbe, calti, rebana, kendang, dan bedug. Namun, yang ramai dipesan adalah jimbe.

Jenis dan ukuran jimbe yang diproduksi mulai ukuran terkecil 12 cm hingga besar 1 meter. Sementara itu, jenisnya ada dua, yaitu jimbe polos tanpa lukisan dan jimbe lukis. Jimbe itu dilukis menggunakan cat tembok. Sedangkan untuk harganya berkisar antara Rp 8 ribu hingga 1.5 juta. Patokan harga tersebut sesuai ukuran dan lukisannya.

Nursanti mengatakan, saat ini jimbe yang diproduksi oleh pengrajin sudah tersebar di berbagai kota di Indonesia, yaitu Jakarta, Bandung, Solo, Yogyakarta, Malang, Jember, Surabaya, Bali, dan padang. Bahkan sampai ke luar negeri, diantaranya Korea, Tiongkok, Jamaica, dan Jerman.

“tiap seminggu sekali kita mengirim jimbe sebanyak 1500 buah ke Korea,” jelas wanita yang telah menekuni usaha kerajinan ini sejak 14 tahun yang lalu. (Tripnesian)



Tuesday 17 January 2017

Antara Candi Penataran dan kisah perjalanan Bujangga Manik

Sejumlah pengunjung melintas di Candi Angka Tahun yang berada di dalam komplek Candi Penataran, Blitar, Selasa (31/3/2015). Candi ini digunakan sebagai lambang Kodam V Brawijaya.

Candi Penataran adalah sebuah gugusan candi bercorak Hindu yang terletak di Desa Penataran, Kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar, Jawa Timur. Sejatinya candi ini bernama Candi Palah yang dibangun pada masa Raja Srengga dari Kerajaan Kediri, sekitar tahun 1200 Masehi. Dahulunya, candi ini digunakan sebagai tempat pemujaan agar terhindar dari bencana yang disebabkan oleh gunung Kelud.

Suasana pedesaan nan asri mengiringi perjalanan saya ke candi Penataran. Jalanan cukup baik, dan berhawa sejuk . Tiba di sana, terlihat gugusan candi yang kokoh berdiri di atas tanah seluas 12.946 meter persegi. Bangunannya terbagi menjadi 3 halaman, yakni depan, tengah, dan belakang.

Halaman depan terdapat arca dwarapala yang terbuat dari batu andesit,lalu melangkah lebih dalam ada Bale Agung dan pendopo teras yang terbuat dari batu andesit. Berikutnya terdapat Candi Angka Tahun atau yang dikenal dengan candi Brawijaya, dimana candi ini digunakan sebagai symbol Kodam V Brawijaya.


Di halaman tengah juga terdapat arca dwarapala, namun ukurannya lebih kecil dari arca yang berada di halaman depan. Selanjutnya ada Candi Naga, dan pondasi bata berukuran 10 x 20 meter yang berdenah bujur sangkar, diperkirakan pondasi bata adalah bekas gapura paduraksa.

Sedangkan di halaman belakang terdapat Candi Utama yang terdiri dari 3 teras tersusun dengan tinggi 7,19 meter. Dinding-dindingnya terpahat cerita Ramayana, Krçnayana, serta naga dan singa bersayap pada teras ketiga. Di halaman ini juga terdapat Prasasti Palah berangka tahun 1119 Saka atau 1197 Masehi, yang bertuliskan “menandakan Kertajaya berbahagia dengan kenyataan tidak terjadi sirnanya empat penjuru dari bencana”, dari kalimat ”tandhan krtajayayåhya / ri bhuktiniran tan pariksirna nikang sang hyang catur lurah hinaruhåra nika”.



Sejumlah pengunjung berjalan di komplek halaman belakang candi Penataran, Blitar, Selasa (31/3/2015).

Mendengar nama “Palah”, saya teringat akan sebuah naskah kuno berbahasa Sunda yang dikenal dengan “Naskah Bujangga Manik”, sekitar abad 15. Naskah tersebut ditulis oleh Bujangga Manik atau Ameng Layaran, nama samaran dari Prabu Jaya Pakuan dari keraton Pakuan Pajajaran, Ibukota Kerajaan Pajajaran.  Dia menulis perjalananya ke tanah Jawa dan Bali, berbentuk puisi naratif yang terdiri dari 1758 baris dengan daun nipah. Bisa dibilang dia adalah penyair Indonesia yang pertama kali menggambarkan geografi pulau Jawa dan Bali.

Di dalam naskah tersebut menyebutkan 450 nama tempat yang membentang dari Sunda hingga pulau Bali, salah satu diantaranya adalah Rabut Palah atau Candi Palah. Dalam perjalanannya ke tanah Jawa, dia singgah di Candi Palah selama setahun, di sana dia belajar ilmu agama dan bahasa Jawa. Berikut transliterasi naskahnya: 


“Sadatang ka Gunung Ka(m)pud,
datang ka Rabut Pasajen.
Eta hulu Rabut Palah,
kabuyutan Majapahit,
nu dise(m)bah ku na Jawa.”

(Sesampai di Gunung Kampud,
aku datang ke Rabut Pasajen.
Tempat ini dataran tinggi Rabut Palah,
tempat suci Majapahit,
yang dimuliakan oleh orang Jawa)

“Maca (a)ing Darmaweya,
pahi deung Pa(n)dawa Jaya.
Ti inya lunasing jobrah,
aing bisa carek Jawa,
aing ngaro basa. “

(Aku membaca Darmaweya,
juga Pandawa Jaya.
Setelah itu keingintahuanku terpuaskan,
aku dapat bicara bahasa Jawa,
juga mampu menerjemahkannya)

“Di inya aing teu heubeui,
satahun deung sataraban.”

(Di sana aku tidak tinggal terlalu lama,
selama satu tahun lebih)


“Ha(n)teu betah kage(n)teran,
datang nu puja ngancana,
nu nye(m)bah ha(n)teu pegatna,
nu ngideran ti nagara.”

(Aku tidak tahan suara yang terus bunyi,
yang datang untuk beribadah dan mempersembahkan emas,
yang beribadah tanpa henti,
berkelana di sekitar ibukota)


Di dalam naskah tersebut tertulis “gunung Kampud” yang saat ini disebut dengan gunung Kelud. Perjalanan Bujangga Manik berakhir di Gunung Patuha, di sana dia bertapa hingga akhir hayatnya.

Naskah Bujangga Manik pertama kali ditemukan oleh saudagar dari Newport, Andrew James, pada tahun 1627. Kemudian, Andrew James menyerahkannya pada perpustakaan Bodley, Universitas Oxford, Inggris. Hingga saat ini naskah Bujangga Manik masih tersimpan di sana. (Tripnesian)