Showing posts with label History. Show all posts
Showing posts with label History. Show all posts

Monday, 13 February 2017

Dari pusara hingga Rumah Wafat WR Soepratman di Surabaya

Patung WR Soepratman di halaman makam WR Soepratman, Surabaya, Minggu (24/4/2016).

Pusara itu berlindung di dalam pendapa bercorak jawa. Berhiaskan keramik, serta ukiran syair lagu kebangsaan di pusaranya. Di sudut halaman, berdiri sebuah patung sebagai penanda tempat terakhir Sang Komponis Bangsa.

Adalah Wage Rudolf Soepratman yang bersemayam di pusara itu. Seorang musisi sekaligus pahlawan nasional yang lahir di Somongari, Purworejo, Jawa Tengah, pada 9 Maret 1903 silam. Beliau yang menggubah lagu kebangsaan Indonesia Raya.

Perlu diketahui, ada dua versi mengenai tempat kelahirannya. Seperti dilansir harian Kompas di situsnya (link rujukan), ada kontroversi tempat kelahiran WR Soepratman. Dalam buku sejarah menyatakan Soepratman lahir di  Jatinegara, Jakarta. Sedangkan, warga Purworejo dan beberapa sumber lainnya meyakini bahwa Soepratman lahir di Desa Trembelang, Kelurahan Somongari, Purworejo. Perbedaan itu masih terjadi perdebatan hingga saat ini.

Soepratman wafat pada 17 Agustus 1938 di Surabaya. Awalnya, jasadnya dikebumikan di Kenjeran,  kemudian dipindahkan di Tambak Segaran Wetan, Rangkah, Surabaya. Tahun 2003, makam Pahlawan Nasional ini mengalami pemugaran, dan diresmikan oleh Megawati Soekarno Putri yang saat itu menjabat sebagai presiden.

Makam WR Soepratman nampak bersih dan terawat. Meski terbilang sepi, namun tiap harinya ada saja yang mengunjungi makam. Dibuka mulai pukul 08.00 WIB hingga 16.00 WIB. “Saat hari Pahlawan dan Kemerdekaan banyak pengunjung dari berbagai daerah datang ke sini,” ujar ," jelas Tamu Fitria, juru kunci makam WR Soepratman, Minggu (24/4/2016). 
 


Rumah Wafat
 
Rumah Wafat WR Soepratman di Surabaya (24/4/2016).
Wage Rudolf Soepratman adalah komponis Indonesia pertama yang menciptakan lagu-lagu perjuangan. Selain Indonesia Raya, ia juga membuat lagu lainnya, diantaranya Dari Barat Sampai ke Timur (1925), Bendera Kita (1927), Ibu Kita Kartini (1931) yang semula berjudul Raden Ajeng Kartini, Bangunlah Hai Kawan (1931), Indonesia Hai Ibuku (1927); dan tiga lagu lain yang diciptakan di Surabaya: Mars Parindra (1937), Mars Surya Wirawan (1937), dan Matahari Terbit (1938).

Lagu Indonesia Raya pertama kali dibawakan Soepratman pada Kongres Pemuda II (peristiwa Sumpah Pemuda) pada 28 Oktober 1928.  Adalah Sugondo Djojopuspito selaku Ketua Panitia kongres memberi kesempatan untuk tampil membawakan lagu Indonesia Raya. Dia membawakannya dengan gesekan biola.

Kala itu, hampir seluruh orang berdiri dan menyebut-nyebut sebagai lagu kebangsaan. Kebesaran Indonesia Raya pun dinyatakan oleh Presiden RI pertama Soekarno, “Setia kepada Indonesia Raya, setia kepada lagu Indonesia Raya yang telah kita ikrarkan sebagai lagu perjuangan”.

Soepratman sendiri, sejak Juli 1933 terus sakit-sakitan. Dia mulai mengurangi kegiatannya, dan menetap di Cimahi, lalu pindah ke Palembang. Hingga tahun 1937, ia dibawa oleh saudaranya ke Surabaya. Di rumah saudaranya itulah Soepratman menghembuskan nafas terakhir.

Rumah itu kini dijadikan museum Rumah Wafat WR Soepratman, terletak di jalan Mangga 21, Tambaksari, Surabaya. Di dalamnya terdapat duplikat biola yang dipakai WR Soepratman, artikel dan foto-foto perjalanannya semasa hidup.  Museum ini dibuka untuk umum pada hari Selasa hingga Minggu mulai pukul 09.00 WIB hingga 17.00 WIB. (Tripnesian)



Tuesday, 24 January 2017

Mengunjugi Patung Budha Tidur di Mahavihara Majapahit Trowulan

Pekerja melintas di depan Patung Budha Tidur, Mahavihara Majapahit, Mojokerto, Minggu (18/12/2016).

Selain candi, ada satu lagi destinasi yang patut kita kunjungi di Mojokerto. Adalah Patung Budha Tidur yang berada di dalam komplek Mahavihara Majapahit, yang terletak di Desa Bejijong, Kecamatan Trowulan. Konon, patung ini terbesar ketiga di Asia.

Patung ini panjangnya mencapai 22 meter dengan tinggi 4,5 meter, berwarna kuning keemasan dan di keliling kolam ikan. Patung ini dibuat pada tahun 1993, digagas oleh Viriyanadi, Biksu senior di Mahavihara Majapahit.

Awalnya, Biksu Viriyanadi bermeditasi di petilasan Raden Wijaya, yakni Siti Inggil. Dalam meditasi itu ia mendapat petunjuk ke arah selatan, hingga menemukan lahan kosong di kawasan Desa Bejijong. Lahan tersebut ternyata bekas Candi Budha pada zaman Majapahit, dengan bukti arsip peninggalan Belanda yang tersimpan di Museum Nasional, Jakarta. Viriyanadi pun memutuskan untuk mendirikan Mahavihara Majapahit di lahan itu.

Selain bangunan vihara dan patung Budha tidur, di dalam komplek Mahavihara Majapahit ada miniatur Candi Borobudur yang dibuat persis seperti aslinya, dan terdapat pula rumah abu dengan sejumlah patung dewa yang diletakkan di halaman depannya.

Tempat ini tak pernah sepi dari pengunjung. Bukan hanya dikunjungi umat Budha saja, tapi juga dikunjungi wisatawan dari berbagai kalangan serta daerah.


Sejumlah Biksu mengelilingi Patung Budha Tidur dalam prosesi perayaan Waisak di Mahavihara Majapahit, Mojokerto, Selasa (2/6/2015) Malam.

Jika perayaan Waisak, tempat ini mendadak ramai. Rentetan acara seperti pertunjukan barongsai, donor darah, dan klinik kesehatan gratis, digelar oleh pengelola. Disamping itu pengunjung bisa menyaksikan prosesi upacara Waisak secara langsung. Salah satunya adalah prosesi Pradaksina, dimana para biksu beserta umat Budha lainnya berjalan mengelilingi Vihara dan patung Budha tidur.

Sedangkan untuk tiket masuk Mahavihara. Majapahit sebesar Rp 5 ribu per orang. Di sekitar lokasi ada lapak-lapak yang menjajakan makanan dan minuman.

Sementara itu, waktu tempuh Surabaya ke Mahavihara Majapahit hanya 2 jam saja menggunakan kendaraan bermotor. Aksesnya sangat mudah dan kondisi jalannya cukup baik, serta banyak papan petunjuk yang mengarah ke lokasi. Jika dari Surabaya, sekitar 300 meter dari lokasi kita akan menjumpai papan petunjuk berwarna merah bertuliskan Mahavihara Majapahit di kanan jalan. (Tripnesian)



Saturday, 21 January 2017

Mengunjungi Eng An Kiong, klenteng tertua di Malang

Pengunjung melintas di klenteng Eng An Kiong di Malang, Minggu (31/1/2016).

192 tahun silam, saudagar dari Tiongkok, Lt Kwee Sam Hwai, datang ke Malang untuk mencari peruntungan. Sebagai wujud syukur telah diberi keselamatan, ia membangun sebuah klenteng yang diberi nama Eng An Kiong, yang berarti Istana Keselamatan Yang Abadi.

Sebuah papan bertuliskan ratusan nama orang tertempel di dalam klenteng, nama para penyumbang dana dari warga Tiongkok yang bermukim di kawasan klenteng.

Pembangunannya dilakukan secara dua periode. Awalnya membangun ruangan tengah pada tahun 1825. Menyusul bangunan lainnya pada tahun 1895, pembangunan ini berlangsung hingga tahun 1934.

Sebagian besar arsitekturnya bergaya Tiongkok, dengan sedikit sentuhan Eropa pada tiang-tiangnya. Bagian atap klenteng berjenis atap pelana dengan ujung yang melengkung ke atas, atau juga disebut Ngang Shan. Jika dilihat sekilas bentuknya menyerupai sebuah kapal.

Di dalam klenteng ada beberapa ruangan peribadatan, dengan hiasan puluhan lampion yang menggantung di langit-langitnya. Selain itu juga ada pagoda kecil berwarna kuning, dan sejumlah patung dewa, diantaranya Dewa Bumi yang terletak di altar induk. Patung itu berasal dari Tiongkok yang dibawa dengan tandu kayu jati berlapis kertas emas yang masih ada hingga saat ini.


Pengunjung melintas di ruangan tengah klenteng Eng An Kiong di Malang, Minggu (31/1/2016).

Sementara itu, warna klenteng didominasi merah dan kuning, dimana kedua warna itu memiliki arti, yaitu merah yang berarti keberanian, kebahagiaan dan kehidupan, sedangkan kuning bermakna keagungan.

Konon, Kwee Sam Hwai adalah keturunan ketujuh dari seorang jendral dari zaman Dinasti Ming. Kala itu, seorang Kapiten, keturunan kelima jendral tersebut, berlabuh di Jepara. Lalu, dia menikah dengan wanita keturunan Sumenep, Madura. Lt Kwee Sam Hwai adalah cucu dari Kapiten itu.

Klenteng bukan hanya tempat keagamaan saja, namun juga ungkapan lahiriah masyarakat yang mempercayainya.

Klenteng Eng An Kiong berada tidak jauh dengan Pasar Besar, yakni di jalan Martadinata, Kota Malang, Jawa Timur. Hingga saat ini masih digunakan untuk beribadah umat Khonghucu, Tao, dan Budha. Klenteng ini ramai dikunjungi saat perayaan Imlek dan hari besar Khonghucu lainnya. Siapapun boleh mengunjunginya, tak terkecuali penganut agama lain. (Tripnesian)



Friday, 20 January 2017

Mengunjungi kerajinan Topeng Malangan

Sejumlah Topeng Malangan di Padepokan Asmorobangun, Malang, Rabu (20/1/2016).

Tri Handoyo, seniman tari dan pengrajin Topeng Malangan di Kabupaten Malang. Dia meneruskan jejak dari mendiang kakeknya, Mbah Karimun, seniman tari yang mendapat penghargaan sebagai Maestro Seni Tradisi dari Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, Jero Wacik, pada 2007 lalu.

Suasana pedesaan nan asri mengantarkan saya ke Padepokan Asmorobangun. Sebuah padepokan yang didirikan oleh Mbah Karimun pada 1978 silam di Desa Kedung Monggo, Kecamatan Pakisaji, Kabupaten Malang, sebagai tempat berkumpulnya penari Topeng Malangan. Pun digunakan sebagai ‘bengkel’ pembuatan topengnya.

Tidak terlalu jauh dari gapura desa, sekitar 10 menit saya sampai di padepokan. Di dalamnya ada bangunan serupa galeri yang ukurannya tak begitu besar. Tepat di belakangnya, berdiri pendopo yang biasanya digunakan untuk latihan dan pertunjukan tari.


Di dalam galeri terlihat Tri Handoyo sedang sibuk membuat topeng. Melihat saya berjalan menghampirinya, ia pun menghentikan kegiatannya, lalu menyapa saya. Perkenalan berlanjut obrolan tentang Topeng Malangan di Kedung Monggo.

Dalam obrolan itu, dia mengatakan, mulai belajar menari dan membuat topeng saat masih duduk di bangku sekolah dasar, diajarkan langsung oleh Mbah Karimun.

“Hati saya merasa terpanggil untuk meneruskan budaya ini,” terangnya di galeri Padepokan Asmorobangun, Rabu (20/1/2016) Siang.
 

Tri Handoyo sedang membuat Topeng Malangan di Padepokan Asmorobangun, Malang, Rabu (20/1/2016) Siang.

Handoyo saat ini mampu membuat 76 karakter penokohan dalam Topeng Malangan. Tokoh utamanya adalah Panji Asmorobangun dan Putri Sekartaji. Dikatakannya, warna dasar Topeng Malangan adalah merah, putih, kuning, hitam, dan hijau. Dalam tiap warnanya memiliki makna, yakni merah yang berarti keberanian, putih melambangkan kesucian, hitam adalah kebijaksanaan, kuning menyimbolkan kesenangan, dan hijau bermakna kedamaian.

Ada dua jenis topeng yang dibuatnya yakni, topeng pertunjukan dan aksesoris. Keduanya yang membedakan adalah bahan bakunya, untuk aksesoris terbuat dari kayu sengon, sedangkan pertunjukan berbahan baku dari kayu nangka, beringin, mentaos, dan kembang.  Keseluruhan produk dihargai mulai Rp 8 ribu hingga Rp 1 Juta, harga tersebut menyesuaikan ukuran, bahan dan tingkat kesulitannya.

Hasil kerajiannya itu tidak hanya beredar di pasar domestik saja, tapi sudah masuk ke pasar internasional. Handoyo mengatakan, ada beberapa pembeli dari luar negara yang memesan topeng buatannya, antara lain dari Rusia, Belanda, Amerika, Inggris, Australia, Jepang, dan Thailand.

“Dalam tiap bulan saya mengirim 20 topeng ke Rusia,” tutupnya. (Tripnesian)



Tuesday, 17 January 2017

Antara Candi Penataran dan kisah perjalanan Bujangga Manik

Sejumlah pengunjung melintas di Candi Angka Tahun yang berada di dalam komplek Candi Penataran, Blitar, Selasa (31/3/2015). Candi ini digunakan sebagai lambang Kodam V Brawijaya.

Candi Penataran adalah sebuah gugusan candi bercorak Hindu yang terletak di Desa Penataran, Kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar, Jawa Timur. Sejatinya candi ini bernama Candi Palah yang dibangun pada masa Raja Srengga dari Kerajaan Kediri, sekitar tahun 1200 Masehi. Dahulunya, candi ini digunakan sebagai tempat pemujaan agar terhindar dari bencana yang disebabkan oleh gunung Kelud.

Suasana pedesaan nan asri mengiringi perjalanan saya ke candi Penataran. Jalanan cukup baik, dan berhawa sejuk . Tiba di sana, terlihat gugusan candi yang kokoh berdiri di atas tanah seluas 12.946 meter persegi. Bangunannya terbagi menjadi 3 halaman, yakni depan, tengah, dan belakang.

Halaman depan terdapat arca dwarapala yang terbuat dari batu andesit,lalu melangkah lebih dalam ada Bale Agung dan pendopo teras yang terbuat dari batu andesit. Berikutnya terdapat Candi Angka Tahun atau yang dikenal dengan candi Brawijaya, dimana candi ini digunakan sebagai symbol Kodam V Brawijaya.


Di halaman tengah juga terdapat arca dwarapala, namun ukurannya lebih kecil dari arca yang berada di halaman depan. Selanjutnya ada Candi Naga, dan pondasi bata berukuran 10 x 20 meter yang berdenah bujur sangkar, diperkirakan pondasi bata adalah bekas gapura paduraksa.

Sedangkan di halaman belakang terdapat Candi Utama yang terdiri dari 3 teras tersusun dengan tinggi 7,19 meter. Dinding-dindingnya terpahat cerita Ramayana, Krçnayana, serta naga dan singa bersayap pada teras ketiga. Di halaman ini juga terdapat Prasasti Palah berangka tahun 1119 Saka atau 1197 Masehi, yang bertuliskan “menandakan Kertajaya berbahagia dengan kenyataan tidak terjadi sirnanya empat penjuru dari bencana”, dari kalimat ”tandhan krtajayayÃ¥hya / ri bhuktiniran tan pariksirna nikang sang hyang catur lurah hinaruhÃ¥ra nika”.



Sejumlah pengunjung berjalan di komplek halaman belakang candi Penataran, Blitar, Selasa (31/3/2015).

Mendengar nama “Palah”, saya teringat akan sebuah naskah kuno berbahasa Sunda yang dikenal dengan “Naskah Bujangga Manik”, sekitar abad 15. Naskah tersebut ditulis oleh Bujangga Manik atau Ameng Layaran, nama samaran dari Prabu Jaya Pakuan dari keraton Pakuan Pajajaran, Ibukota Kerajaan Pajajaran.  Dia menulis perjalananya ke tanah Jawa dan Bali, berbentuk puisi naratif yang terdiri dari 1758 baris dengan daun nipah. Bisa dibilang dia adalah penyair Indonesia yang pertama kali menggambarkan geografi pulau Jawa dan Bali.

Di dalam naskah tersebut menyebutkan 450 nama tempat yang membentang dari Sunda hingga pulau Bali, salah satu diantaranya adalah Rabut Palah atau Candi Palah. Dalam perjalanannya ke tanah Jawa, dia singgah di Candi Palah selama setahun, di sana dia belajar ilmu agama dan bahasa Jawa. Berikut transliterasi naskahnya: 


“Sadatang ka Gunung Ka(m)pud,
datang ka Rabut Pasajen.
Eta hulu Rabut Palah,
kabuyutan Majapahit,
nu dise(m)bah ku na Jawa.”

(Sesampai di Gunung Kampud,
aku datang ke Rabut Pasajen.
Tempat ini dataran tinggi Rabut Palah,
tempat suci Majapahit,
yang dimuliakan oleh orang Jawa)

“Maca (a)ing Darmaweya,
pahi deung Pa(n)dawa Jaya.
Ti inya lunasing jobrah,
aing bisa carek Jawa,
aing ngaro basa. “

(Aku membaca Darmaweya,
juga Pandawa Jaya.
Setelah itu keingintahuanku terpuaskan,
aku dapat bicara bahasa Jawa,
juga mampu menerjemahkannya)

“Di inya aing teu heubeui,
satahun deung sataraban.”

(Di sana aku tidak tinggal terlalu lama,
selama satu tahun lebih)


“Ha(n)teu betah kage(n)teran,
datang nu puja ngancana,
nu nye(m)bah ha(n)teu pegatna,
nu ngideran ti nagara.”

(Aku tidak tahan suara yang terus bunyi,
yang datang untuk beribadah dan mempersembahkan emas,
yang beribadah tanpa henti,
berkelana di sekitar ibukota)


Di dalam naskah tersebut tertulis “gunung Kampud” yang saat ini disebut dengan gunung Kelud. Perjalanan Bujangga Manik berakhir di Gunung Patuha, di sana dia bertapa hingga akhir hayatnya.

Naskah Bujangga Manik pertama kali ditemukan oleh saudagar dari Newport, Andrew James, pada tahun 1627. Kemudian, Andrew James menyerahkannya pada perpustakaan Bodley, Universitas Oxford, Inggris. Hingga saat ini naskah Bujangga Manik masih tersimpan di sana. (Tripnesian)



Monday, 26 December 2016

Toko Oen melintasi zaman

Pekerja merapikan kursi di Toko Oen, Malang, Rabu (18/5/2016).

Tak kalah dengan daerah lainya, Kota Malang juga mempunyai menu kuliner legendaris. Adalah Toko Oen yang menyajikan es krim sebagai menu utamanya. Terletak di jalan Basuki Rahmat, Toko Oen berdiri sejak zaman kolonial Belanda.

Perjalanan saya siang itu berhenti di tengah Kota Malang. Di sudut jalan nampak sebuah restoran es krim, bangunannya bergaya khas zaman kolonial Belanda. Terlihat menarik, saya pun berniat mengunjunginya.

Masuk ke dalam restoran saya disambut oleh seorang pelayan berpakaian kemeja putih dengan celana hitam. Setiba di meja bartender saya disodori daftar menu. Ada puluhan olahan es krim yang tertulis di dalam daftar tersebut. Merasa bingung, saya pun bertanya kepada pelayan.

"Menu es krim apa yang bahan dasar dan rasanya masih sama sejak zaman Belanda?" tanyaku. "Semuanya masih asli mas komposisi dan rasanya," jawab pelayan itu. "Oh kalau begitu saya memesan menu yang paling banyak dipesan oleh pengunjung saja," tanggapku. "Sony Boy kalau begitu, mau pesan berapa porsi?" tanya pelayan itu. "Sementara satu porsi aja dulu mbak," jawabku. "Oh iya mas, silahkan memilih tempat duduk," ujar pelayan itu, lalu saya pun pergi memilih tempat duduk.



Sony Boy adalah salah satu es krim favorit pengunjung  di Toko Oen. Es krim ini berbahan dasar vanila, strawberry, coklat, mocca, cocktail, dan gula jawa.

Tak lama menunggu, pesanan saya pun datang diantar oleh pelayan. Tampilan es krimnya sangat menarik dan terlihat segar, meski menurut saya bukan tampilan baru alias lawas. Setelah mengabadikannya lewat kamera, saya pun melahapnya.

Perpaduan rasa dari bahan dasarnya lumer di mulut, teksturnya pun sangat lembut, meninggalkan kesan dari setiap sendoknya. Pantas saja Sony Boy dihargai Rp 40 ribu per porsi.


Foto kiri: Portrait dua pelayan di Toko Oen, Malang, Rabu, (18/5/2016). Foto kanan: Seporsi Sony Boy di Toko Oen, Malang, Rabu (18/5/2016).

Sembari menikmati menikmati es krim, pandangan saya menjelajah di setiap sudut ruangan. Saya memilih tempat duduk tepat di tengah ruangan agar bisa leluasa melihat isi ruangan.

Pada salah satu sudut ruangan terpasang banner panjang bertuliskan bahasa Belanda "Welkom in Malang, Toko “Oen” Die Sinds 1930 Aan De Gasten Gazelligheid Geeft”, jika diartikan dalam bahasa Indonesia adalah “Selamat Datang di Malang, Toko “Oen” sejak tahun 1930 telah memberikan suasana yang nyaman".




Seperti bangunan zaman kolonial Belanda lainnya, Toko Oen memiliki langit-langit bangunan yang tinggi, dengan pintu dan jendela yang besar. Begitu juga dengan sejumlah perabotnya seperti meja dan kursi bergaya khas Eropa. Pun beberapa ornamen yang memperkuat suasana tempo dulu.

Membaca sejumlah artikel yang ada, konon Toko Oen dahulunya menjadi jujugan para meneer dan mevrouw , kaum borjuis Belanda untuk berpesta.

Awalnya Toko Oen adalah toko kue kering di Yogyakarta pada tahun 1910. Pendirinya adalah Liem Gien Nio, wanita keturunan Cina. Berselang 12 tahun berkembang menjadi restoran es krim yang diberi nama "Toko Oen Ice Cream Palace Patissier". Sedangkan nama Oen diambil dari nama suaminya, yakni Oen Tjoen Hok.

Menilik dari website internalnya, Tak disebutkan kapan Toko Oen cabang Malang didirikan. Hanya saja pada tahun 1934 membuka cabang di Batavia (Jakarta). Setahun kemudian membuka cabang di jalan Bodjong, Semarang.

Cabang di Jakarta tutup pada tahun 1973. Sementara itu, Toko Oen di Malang kini sudah beralih kepemilikan. Kini, hanya di Semarang yang masih dikelola oleh keturunan asli keluarga Oen. (Tripnesian)



Tuesday, 29 November 2016

Jejak Sang Misionaris Belanda di Puh Sarang Kediri

Tampak depan Gereja Puh Sarang , Rabu (24/12/2014) Siang.

Banyak jejak sejarah yang tersimpan di lereng Gunung Wilis. Salah satunya adalah gereja tua bercorak Hindu-Budha. Keberadaanya mendedah kisah masa kolonial Belanda di Indonesia. Bahwa mereka bukan hanya mencari sumber daya alam, tapi juga mempunyai misi penyebaran agama. Para misionaris dikirim ke sejumlah daerah, diantaranya adalah Kediri Jawa Timur.

Adalah Gereja Puhsarang, peninggalan dari misionaris Belanda di Desa Puhsarang, yakni Romo Jan Wolters CM. Peletakan batu pertama Gereja Katolik ini pada 11 Juni 1936 oleh Prefektur Apostolik Surabaya Mgr. Theophile De Backere, CM.

Gereja Katolik ini adalah karya agung dari Henri Maclaine Pont (1884-1971), seorang arsitek berdarah campuran Pulau Buru dan Skotlandia yang lahir di Meester Cornelis (Jatinegara). Ia sangat menyukai budaya Jawa. Popularitasnya menanjak saat menggambarkan rekonstruksi Ibu Kota Majapahit di Trowulan.

Sama halnya dengan Jan Wolters, yang mencintai nilai-nilai kebudayaan Jawa. Di tahun 1920 akhir ia melakukan perjalanan dari Nganjuk menuju Tulungangung dengan mengemban misi pewartaan. Hingga ia sampai di Desa Kepuh Ngarang yang lambat laun berganti Puh Sarang.


Dua tokoh tersebut berhasil memadukan intuisi yang diwujudkan dalam arsitektur Gereja Puh Sarang. Bangunan yang sarat nilai budaya hindu-Jawa dan Alkitab.

Bangunannya tidak seperti gedung zaman kolonial lainnya di Indonesia. Gereja Puh Sarang menggunakan bahan-bahan dan tenaga lokal. Seperti batu bata merah dan banyak batu yang diambil dari kali Kedak, sebuah sungai yang membentang di Puh Sarang.

Sekilas bentuk bangunannya nampak seperti kapal dan gunung, lambang kisah bahtera Nabi Nuh yang terdampar di Gunung Arafat.

Berhenti di Gapura Henricus, pintu utama Gereja Puh Sarang. Bentuknya menyerupai candi, melengkung dengan lonceng bermahkota ayam yang sarat akan nilai-nilai Kristiani.




Halaman dalam dikelilingi tembok yang terbuat dari batu kali, ciri khas bangunan kerajaan di Jawa dan Bali.  Di sekeliling tembok, Maclaine Pont menempatkan ukiran 14 stasi Jalan Salib Golgota.


Gua Maria Lourdes dan Jalan Salib Bukit Golgota di Puh Sarang

Di luar komplek Gereja terdapat Gua Maria Lourdes, replika dari Gua Lourdes yang ada di Perancis. Tapi bedanya di sini patung Maria lebih tinggi dari aslinya, yakni 3,5 meter, sedangkan di Perancis tingginya 1,75 meter.
 

Sekitar area gua tumbuh puluhan pohon yang cukup membawa suasana nyaman dan teduh. Serta diantaranya ada sungai kecil dengan rimbun pohon bambu yang menambah kesan kesejukan.

Sejumlah pengunjung berjalan di Jalan Salib Golgota, Gereja Puh Sarang, Kediri (24/12/2014).

Sementara itu di sisi utara terdapat ratusan patung fragmen peristiwa penyaliban Yesus yang diberi nama Jalan Salib Bukit Golgota. Di tempat ini ada 15 stasi dengan total keseluruhan 100 patung, yang mengisahkan perjalanan Yesus dalam menerima hukuman Salib oleh Gubernur Romawi Pontius Pilatus.

Tidak sedikit umat Kristen yang berkunjung ke sini. Terutama saat hari raya Paskah, ratusan umat Kristen melakukan ritual Jalan Salib di tempat ini.

Tak hanya pengunjung dari umat Kristen saja yang berkunjung ke sini. Banyak juga pengunjung dari agama lain, seperti Islam dan Hindu datang ke Puh Sarang untuk menyaksikan langsung bangunan gereja, serta menikmati suasana di Gua Maria Lourdes dan Jalan Salib Golgota.

Di kawasan Gereja Puh Sarang juga ada pasar tradisional yang berada sebelum Gua Maria Lourdes. Pasar ini menjual pernak pernik Kristiani seperti patung Yesus, Maria dan kalung salib, serta kaos oleh-oleh bergambar Gereja Puh Sarang. (Tripnesian)


Sunday, 27 November 2016

Candi Singosari, penanda akhir Sang Raja

Candi Singosari, Malang, Selasa (12/1) Siang.

Keberadaanya membeku di tengah zaman. Layaknya artefak, candi Singosari menjadi salah satu penanda sebuah peradaban zaman Kerajaan Hindu-Budha di Jawa Timur, Indonesia. Pun, menyimpan lembaran kisah masa silam.

Meski membisu dan membatu, tapi membuka kisah diantara ribuan kisah masa lalu di Singosari, Kabupaten Malang. Adalah kisah raja terakhir dari Kerajaan Singosari, yakni Kertanegara. Raja yang memimpin Singosari pada tahun 1268 hingga 1292.
 

Membaca kisahnya di website Perpustakaan Nasional Indonesia (Perpusnas) , Raja Kertanegara terbunuh saat perang melawan Kerajaan Kediri. Perpusnas menyebutkan bahwa Kertanegara adalah Raja terakhir Singosari. Pemerintahannya ditumbangkan oleh Raja Kediri, yakni Jayakatwang. Akhirnya dibangunlah candi Singosari untuk menghormati serta sebagai persembahan kepada Sang Raja. Belum diketahui secara pasti kapan candi ini dibangun. Namun, para ahli purbakala memperkirakan candi Singosari dibangun pada tahun 1300.

Sementara itu, menilik dari Wikipedia, kisah candi Singosari disebutkan dalam Kitab Negarakertagama pupuh 37:7 dan 38:3, bahwa candi ini merupakan tempat "pendharmaan" bagi raja terakhir Singasari , Sang Kertanegara, yang meninggal pada tahun 1292 akibat istana diserang tentara Gelang-gelang yang dipimpin oleh Jayakatwang.

Kisah Ken Arok dan Singosari

Berawal dari Ken Arok Kerajaan Singosari lahir. Ia melakukan kudeta dengan pembunuhan terhadap Akuwu atau kepala pemerintahan setingkat Kecamatan di Tumapel. Tumapel adalah salah satu daerah di Malang yang dibawahi oleh Kerajaan Kediri. Adalah Tunggul Ametung yang menjabat sebagai Akuwu kala itu.

Kecantikan dari Ken Dedes yang menjadi motif Ken Arok untuk membunuh dan mengambil alih posisi Tunggul Ametung. Ken Dedes adalah putri Mpu Purwa dari Desa Panawijen dan juga istri Tunggul Ametung.

Setelah berhasil mengambil alih posisi Tunggul Ametung, Ken Arok pun berhasil menaklukkan Kerajaan Kediri yang saat itu dipimpin oleh Raja Kertajaya. Kemudian Ken Arok mendirikan Kerajaan Singosari.

Dalam webite Perpusnas mengatakan bahwa Ken Arok adalah anak dari hasil hubungan gelap seorang wanita Desa Panawijen yang bernama Ken Endog dengan Batara Brahma. Tak lama setelah dilahirkan, Ken Arok dibuang oleh ibunya di sebuah pekuburan, kemudian ditemukan dan dirawat oleh seorang pencuri ulung. Dari ayah angkatnya inilah Ken Arok belajar tentang segala siasat serta taktik dalam perjudian, pencurian dan perampokan. Hingga ia dikenal sebagai perampok yang sangat ditakuti di wilayah Tumapel.

Di tengah profesinya sebagai perampok, Ken Arok bertemu dengan Lohgawe, seorang brahmana yang menasehatinya agar meninggalkan dunianya yang hitam. Ken Arok pun akhirnya berhenti menjadi perampok, lalu mengabdikan diri sebagai prajurit Tumapel.

Sebagai prajurit ia wajib menjalankan perintah dari pemimpinnya. Hingga suatu ketika ia mendapat tugas untuk mengawal Ken Dedes yang hendak menjenguk ayahnya yang berada di Desa Panawijen. Berawal dari tugas inilah tumbuh hasrat cinta Ken Arok kepada Ken Dedes.

Saat itu, kain panjang yang dikenakan Ken Dedes menyingkap ketika turun dari Kereta. Sekilas betisnya pun terlihat oleh Ken Arok. Ia melihat cahaya yang menyilaukan di betis Ken Dedes.

Kejadian tersebut membuatnya gelisah. Ia pun menanyakan hal itu kepada Mpu Purwa. Sang Mpu menjelaskan sinar yang dilihatnya itu adalah pertanda bahwa Ken Dedes ditakdirkan sebagai wanita yang akan menurunkan raja-raja di Pulau Jawa.


<img src='tripnesian_candi-singosari-malang_02.jpg' width='100' height='100' alt='candi singosari'/>
Pintu utama candi Singosari (kiri). Arca Dewi Parwati didampingi kedua anaknya Kartikeya dan Ganesha (kanan) di Candi Singosari, Selasa (12/1) Siang.

Mendengar penjelasan itu, Ken Arok pun mempunyai keinginan untuk mengambil alih posisi Tunggul Ametung. Lalu, ia memesan keris kepada Mpu yang berada di Tumapel, yakni Mpu Gandring.

Keris pesananya tak kunjung selesai, karena memang butuh waktu yang lama untuk menempa dan ritualnya. Tak sabar menunggu dan ia pun menjadi sangat marah. Keris yang belum selesai itu kemudian diambil secara paksa, dan menusukkan ke tubuh Sang Mpu. Di ujung ajalnya Mpu Gandring mengutuk perbuatan Ken Arok, bahwa keris itu akan meminta korban tujuh nyawa termasuk Ken Arok.

Setelah kejadian itu, keris buatan Mpu Gandring tersebut  dipinjamkan kepada temannya, yaitu Kebo Ijo. Sifat dasar Kebo Ijo yang suka pamer itu mengatakan kepada teman-teman prajuritnya bahwa keris itu adalah miliknya.
Setelah banyak orang yang mengetahui keris itu adalah miliknya, lalu Ken Arok mencurinya dan digunakan untuk menikam Tunggul Ametung. Tuduhan pun jatuh kepada kebo Ijo. Sementara Ken Arok berhasil menggantikan kedudukan Tunggul Ametung dan menikahi Ken Dedes.

Ken Arok menobatkan dirinya sebagai Raja Singosari yang pertama setelah berhasil menaklukkan Kerajaan Kediri. Pernikahannya dengan Ken Dedes melahirkan seorang putra yang bernama Mahisa Wongateleng, Sedangkan dari istri keduanya Ken Umang ia mendapatkan seorang putra bernama Tohjaya.

Selang beberapa waktu, kutukan Mpu Gandring pun mulai berlaku. Ken Arok dibunuh dan digantikan kedudukannya oleh Anusapati, anak  Tunggul Ametung dengan Ken Dedes. Kemudian, Anusapati dibunuh dan digantikan kedudukannya oleh Tohjaya. Lalu, Tohjaya dibunuh serta digantikan oleh Ranggawuni, anak Anusapati. Ranggawuni dinobatkan sebagai raja dengan gelar Jayawisnuwardhana, dan  kemudian digantikan oleh putranya, yaitu Joko Dolog yang bergelar Kertanegara  pada tahun 1268. (Tripnesian)



Sunday, 20 November 2016

Sajian teh dan panorama di Kebun Teh Wonosari Malang

<img src='tripnesian_kebun-teh-wonosari_01.jpg' width='100' height='100' alt='kebun teh wonosari malang'/>
Portrait salah satu buruh pemetik di kebun teh Wonosari, Malang (25/2) Siang.

Sejumlah buruh pemetik tengah sibuk di pematang kebun teh Wonosari, Lawang, Kabupaten Malang (25/2) Pagi. Beberapa ada yang baru datang, lalu segera bergabung dengan yang lainnya. Di sela memetik teh, mereka saling berbicara membahas sesuatu atau hanya gurauan kecil untuk mengusir jenuh.

Di kebun teh Wonosari ada ratusan buruh pemetik teh. Mereka tersebar di seluruh area kebun ini. ada sejumlah area yang terbagi untuk memudahkan para buruh pemetik.  Salah satunya di area kebun sebelum pintu tiket masuk wisata.


Daun-daun teh yang mereka petik itu kemudian dibawa ke pabrik teh Wonosari untuk diolah. Pabrik tersebut berada di dalam tempat wisata ini. Pengunjung bisa melihat langsung proses pengolahannya dari awal hingga akhir. Tentu mendaftarkan diri dulu ke kantor yang disediakan khusus untuk pendaftaran pengunjung yang ingin melihat prosesnya di pabrik.

Hasil olahan teh dari pabrik tersebut juga bisa dinikmati di kedai teh yang diberi nama “Tea House”. Tempatnya tidak jauh sekitar 50 meter dari pabrik.  Di muka kedai ada sebuah taman air yang di tengahnya terdapat monumen cangkir berukuran besar. Kedai Tea House menyediakan menu teh olahan pabrik teh Wonosari, Teh  Rolas namanya. Harganya sangat murah, satu tekonya dihargai Rp 20 Ribu. Selain itu juga menyediakan menu minuman dan makanan lainnya. Menikmati sajian teh dengan suasana nyaman nan sejuk di kedai Tea House membuat siapapun tak ingin beranjak.  


Berjalan lebih ke dalam lagi kita akan menjumpai hamparan kebun teh dengan dikelilingi pepohonan yang rimbun. Di salah satu area perkebunan ada papan yang bertuliskan “Teh ini ditanam pertama kali di Wonosari Th. 1910”. Ya, memang perkebunan ini sudah sejak zaman colonial Belanda.

Menurut sejumlah literatur, Kebun teh Wonosari didirikan oleh perusahaan Belanda yang bernama NV Cultur Maatschappy. Awalnya kebun ini ditanami teh dan kina pada tahun 1910. Hingga saat Jepang menduduki Indonesia pada tahun 1942, sebagian tanaman teh diganti dengan tanaman pangan. Namun, pada saat Indonesia mencapai kemerdekaannya, perkebunan ini kembali ditanami teh oleh pemerintah Indonesia yang dikelola oleh Pusat Perkebunan Negara (PPN).  Saat ini, kebun teh Wonosari dikelola oleh PTP Nusantara XII, digunakan untuk diversifikasi pengolahan kebun teh dan dikembangkan sebagai wisata agro.


<img src='tripnesian_kebun-teh-wonosari_04.jpg' width='100' height='100' alt='kebun teh wonosari malang'/>
Kedai Tea House dan monumen cangkir (foto kiri), dan satu teko Teh Rolas (25/2) Pagi.

Seluas 370 Hektar kebun teh Wonosari menghampar di kaki Gunung Arjuna. Berhawa sejuk dengan ketinggian 950 hingga 1200 Mdpl. Ribuan pucuk daun teh yang berumur ratusan tahun tertanam di kebun ini. Pucuk daun teh asal India dan Cina.

Keindahan panoramanya pun tak kalah. Di salah satu area perkebunan ada panorama yang sedap dipandang. Sajian visual para pemetik teh yang beraktifitas di tengah kebun dengan latar belakang Gunung Arjuna sangatlah sedap dipandang mata. Namun sayang, waktu itu para buruh sedang memetik di area lain. Sehingga hanya tersaji panorama kebun dan latar belakang  Gunung Arjuna saja.

Wisata agro kebun teh Wonosari terletak di Desa Wonorejo, Kecamatan Lawang, Kabupaten Malang, sekitar kurang lebih 30 km dari Kota Malang dan 80 km dari Kota Surabaya. Buka tiap hari mulai pukul 07.00 WIB hingga 17.00 WIB. Tarif tiketnya sangat murah, hanya sebesar Rp 10 Ribu per orang sudah bisa menikmati keindahan alam nya. (Tripnesian)


Thursday, 17 November 2016

Gereja Kayutangan, gereja tertua bergaya neo gothic di Kota Malang

<img src='tripnesian_gereja-kayutangan-malang_01.jpg' width='100' height='100' alt='gereja kayutangan malang'/>
Gereja Kayutangan di tengah padatnya lalu lintas di Jl MGR Sugiyopranoto, Kota Malang (10/1) Sore.

Tak hanya Kota Surabaya yang sarat akan bangunan bersejarah. Kota Malang juga memiliki banyak bangunan yang menjadi saksi bisu zaman pra kemerdekaan. Salah satunya adalah Gereja Kayutangan yang terletak di  di Jl. MGR Sugiyopranoto, Klojen, Utara Alun-alun Kota Malang. Tempat peribadatan umat Katolik ini bangunan religi tertua di Kota Malang.

Bangunan bergaya Neo Gothic Eropa ini secara resmi berdiri pada 4 Juni 1897. Sebenarnya nama gereja ini adalah Gereja Paroki Hati Kudus Yesus (HKY). Namun karena terlalu panjang untuk disebutkan, maka diberi nama Kayutangan. Nama tersebut berhubungan dengan letak gereja yang berada di Kajoetangan Straat, nama jalan di kawasan tersebut sebelum diganti menjadi jalan MGR Sugiyopranoto.


Sebelum dibangun gereja, tempat ini adalah pendopo Kabupaten Malang masa kepemimpinan Bupati Kanjeng Raden Aryo Tumenggung Notodiningrat. Pendopo tersebut sekaligus digunakan tempat beribadah umat Katolik yang dipimpin oleh Romo Godefriedus Daniel Augustinus Joncbloet.

 
Menilik buku “Seabad Paroki Hati Kudus Yesus”, pengajuan pendirian Gereja Kayutangan diurus oleh Mgr Walterus Jacobus Staal S.J pada 4 Januari 1897. Mgr Staal mengajukan ke pemerintah Hindia Belanda mengenai pembentukan stasi Malang. Selang enam bulan, yakni pada 4 Juni 1897 pemerintah Hindia Belanda memberikan izin pendirian Gereja Kayutangan dengan dikeluarkannya surat keputusan Gouvernements-besluit. Tanggal itulah yang menjadi hari berdirinya Gereja Kayutangan.

Sedangkan pembangunan gereja dimulai pada tahun 1905, delapan tahun setelah surat izin pendirian tersebut keluar. Dibangun dengan gaya neo gothic yang diperkenalkan oleh arsitek terkenal dari Belanda, yaitu Dr. P.J.H Cuypers (1827-1921).


<img src='tripnesian_gereja-kayutangan-malang_03.jpg' width='100' height='100' alt='gereja kayutangan malang'/>
Suasana di dalam gereja Kayutangan, (10/1) Siang.

Seni bangunan itu merupakan ciri khas bangunan Eropa pada pertengahan abad ke-19. Bentuk bangunannya yang tinggi, memiliki kerangka yang kokoh pada dinding dan atap, jendela serta pintu yang besar berbentuk lengkungan meruncing ke atas dan dinding yang dibangun dengan konstruksi  skelet.

Gereja Kayutangan hingga saat ini masih aktif digunakan tempat beribadah umat Katolik. Tak terkecuali pada saat perayaan hari besar, seperti Natal dan Paskah. Selain itu ada juga pengunjung yang sekedar menyaksikan bangunannya dan hunting foto di sekitar gereja. (Tripnesian)

Wednesday, 16 November 2016

Menghampiri Raja Kerdil di Candi Bajang Ratu Trowulan

<img src='tripnesian_candi-bajang-ratu_01.jpg' width='100' height='100' alt='candi bajang ratu mojokerto'/>
Pengunjung mengabadikan momen di Candi Bajang Ratu, Trowulan, Mojokerto (18/9) Pagi.

TROWULAN, 18 September 2015 - Kala itu pagi datang tepat waktu, usai menghabiskan malam yang hampir tak tersisa. Melaju cepat berpacu dengan matahari. 60 km/jam lebih cepat 80 km/jam bahkan terkadang 100 km/jam. Agar tiba di tempat sebelum matahari tiba.

Sesuai dengan harapan, aku lebih dulu tiba. Di depan mata tampak silhouette bangunan yang berselimut kabut. Ya, tak lain adalah Candi Bajang Ratu, yang menjadi alasan ku melakukan perjalanan sejauh 64 Km Surabaya - Trowulan.

Berselang waktu yang tak lama matahari pun menampakkan wajahnya. Secara perlahan menerangi candi dengan padang rumput yang luas. Pun, Satu-persatu detil ukiran candi mulai terlihat. Ukiran-ukiran khas bercorak Hindu-Budha.


Menilik dari website Perpustakaan Nasional (perpusnas) Republik Indonesia, candi berbentuk persegi ini adalah peninggalan Kerajaan Majapahit. Dibangun antara abad ke-13 dan 14 Masehi. Majapahit pada masa itu dipimpin oleh raja kedua, yakni Jayanegara.

Candi yang memiliki tinggi 16,1 dan panjang 6,74 meter ini sebagian besar terbuat dari batu bata merah. Pada masing-masing sisi yang mengapit anak tangga terdapat hiasan singa dan binatang bertelinga panjang. Di dinding kaki yang mengapit tangga terpahat relief Sri Tanjung. Sedangkan di kiri dan kanan dinding bagian depan yang mengapit pintu ada relief Ramayana. Serta relief kepala kala yang menghias di atas ambang pintu candi.
 
Belum puas dengan literatur itu, timbul keinginan untuk bertanya pada juru kunci yang berada di pos pintu masuk. Sugeng namanya, pria paruh baya yang sudah puluhan tahun menjadi juru kunci di candi ini. Ia mengatakan bahwa candi ini adalah bentuk penghormatan kepada Jayanegara.

“Dilihat dari bentuknya yang bertipe paduraksa atau gapura beratap, maka fungsinya adalah sebagai gapura pintu masuk bangunan suci. Candi ini juga penghormatan atas meninggalnya Jayanegara,” ucap Sugeng sembari menghisap batang rokoknya, (18/9) Siang.


Sama dengan apa yang dicatat oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (kemdikbud) dalam websitenya. Kemdikbud mencatat bahwa fungsi candi Bajang Ratu diduga sebagai pintu masuk ke sebuah bangunan suci, dan juga untuk memperingati wafatnya Jayanegara pada tahun 1312 Saka.

Sementara itu, dalam catatan Perpusnas mengatakan nama Bajangratu pertama kali disebut pada tahun 1915, yakni dalam buku berbahasa Belanda Oudheidkunding Verslag (OV). Disamping itu, Arkeolog Sri Soeyatmi Satari menduga nama tersebut berhubungan dengan Raja Jayanegara, karena kata 'bajang' berarti kerdil. Menurut Kitab Pararaton dan cerita rakyat, Jayanegara dinobatkan sebagai Raja saat masih berusia bajang atau masih kecil, Sehingga gelar Ratu Bajang atau Bajang Ratu melekat padanya.


Selain itu juga ada yang beranggapan bahwa candi atau gapura Bajang Ratu adala gapura menuju keraton Majapahit.
 

Meski demikian, belum ada penjelasan yang pasti tentang siapa yang membangun, atas perintah siapa dan kapan candi ini dibangun. Hingga sekarang masih menjadi misteri.

<img src='tripnesian_candi-bajang-ratu_07.jpg' width='100' height='100' alt='candi bajang ratu mojokerto'/>
Pengunjung mengabadikan momen di Candi Bajang Ratu (18/9) Siang.

Letak candi Bajang Ratu di Dukuh Kraton, Desa Temon, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, sekitar 600 meter dari Candi Tikus. Dibuka untuk umum mulai pukul 07.00 hingga 16.00 WIB, kecuali hari libur buka hingga pukul 17.00 WIB. Pengunjung dikenakan tarif tiket  masuk sebesar Rp 3 ribu untuk dewasa dan Rp 1500 untuk anak-anak.

Tak sedikit pengunjung yang datang ke candi Bajang Ratu. Mulai dari wisatawan, pelajar, budayawan hingga para peneliti. Terlebih pada hari libur, jumlah pengunjung meningkat 50% dari hari aktif. (Tripnesian)



Monday, 14 November 2016

Masjid Tiban Malang, antara mitos dan keindahan arsitekturnya

<img src='tripnesian_masjid-tiban-malang_05.jpg' width='100' height='100' alt='masjid tiban malang'/>
Sebagian bangunan dari Masjid Tiban dilihat dari lantai lima, (15/5) Siang.

Malang Selatan memiliki sebuah bangunan masjid yang unik dan megah. Keberadaanya menyita perhatian banyak wisatawan dari berbagai daerah. Adalah Masjid Biharu Bahri'asali Fadlaailir Rahmah atau yang dikenal dengan Masjid Tiban.

Bangunan masjid yang berada di “tengah” kampung ini sebenanya adalah pondok pesantren yang bernama Biharu Bahri'asali Fadlaailir Rahmah. Sedangkan nama Masjid Tiban sendiri adalah penyebutan banyak orang terkait isu pembangunannya yang dibantu oleh 1000 pasukan jin.


Namun, saat saya bertanya pada salah satu pengurus pondok, Alif, pondok ini 100% dibangun oleh manusia. Ia mengatakan ide dan konsep pembangunannya adalah hasil istikharah dari mendiang sang pendiri pondok, yakni KH Achmad Bahru Mafdloludin Sholeh yang akrab disapa Romo Kyai. Istikharah atau memohon petunjuk kepada Allah SWT tersebut membuahkan hasil, yakni sebuah petunjuk untuk membangun pondok pesantren beserta detil arsitekturnya.


“Romo Kyai tidak memiliki keahlian dalam hal arsitektur, semua bentuk bangunan diilhami atas petunjuk dari istikharah itu,” ungkap Alif, saat ditemui di pondok, Sabtu (14/5/2016) siang.

Alif menceritakan, awal pembangunannya dimulai pada tahun 1987 hingga 1992. Dalam jenjang waktu tersebut, Romo Kyai dengan dibantu oleh para santrinya berhasil membangun tiga lantai.


Pembangunan sempat terhenti karena belum memiliki izin mendirikan bangunan (IMB). Hingga pada tahun 1999 pembangunan pondok dilanjutkan kembali setelah mendapatkan IMB.


“Sepeninggal Romo Kyai pada tahun 2010 pembangunan dilanjutkan oleh para santri,” tambah Alif. Hingga saat ini para santri berhasil membangun hingga  11 lantai.


<img src='tripnesian_masjid-tiban-malang_06.jpg' width='100' height='100' alt='masjid tiban malang'/>
Kuade (kiri) dan gua di Masjid Tiban, Malang, (15/5) Siang.

Masjid Tiban berdiri di atas tanah seluas 7 hektar. Memiliki 11 lantai dengan gaya arsitektur Timur Tengah, India, dan Romawi. Namun, anehnya dalam proses pembangunannya Romo Kyai sebelumnya tidak memiliki rencana apapun terhadap gaya arsitektur bangunan.

“Bangunan ini tidak mengadopsi kultur dari negara manapun, semua adalah hasil dari istikharah dari Romo Kyai,” imbuh Alif.


Bangunan depan masjid ini adalah gapura pintu masuk berukuran besar dan tinggi. Setelah itu di area halaman masjid atau pondok ada sejumlah bangunan yang menyerupai bangunan kuil di India


Memasuki masjid, yakni di lantai 1 dan 2, kita akan menjumpai ruangan yang penuh dengan ukiran floral dan kaligrafi ayat-ayat Al Quran. Selain itu di lantai 2 ada pelataran dengan lantai warna-warni. Biasanya kedua lantai ini digunakan pengunjung untuk berselfie dan beristirahat. 

Naik ke lantai 3 terdapat akuarium ikan air tawar. Kemudian, di lantai 4 Anda akan menemui kursi pengantin atau kuade, biasanya lantai ini digunakan untuk prosesi akad nikah. 


Melangkah ke atas, di lantai 5 adalah tempat untuk melaksanakan shalat wajib, Idul Fitri, Idul Adha, dan merayakan hari-hari besar Islam lainnya. Di lantai ini juga ada sebuah mimbar yang indah. Selanjutnya, lantai 6 merupakan tempat persinggahan para santri beserta keluarganya.


Lantai 7 dan 8 ada pertokoan yang menjual pernak pernik busana Muslim, makanan dan minuman ringan, serta oleh-oleh berupa kerajinan tangan seperti miniatur mobil dan kereta. Sedangkan, lantai 9 adalah ruang kosong berbentuk kubah.

Lantai 10 terdapat lorong menyerupai sebuah gua, biasanya digunakan oleh santri dan pengunjung untuk mengaji. Di lantai paling atas kita bisa melihat bentuk bangunan masjid dari atas lewat celah-celah jendela bergaya Timur Tengah. Dan masih banyak lagi ruangan yang unik dan indah di dalam masjid ini.

Tiap hari ribuan pengunjung datang silih berganti. Tak hanya pengunjung lokal, dari luar negeri juga banyak yang mengunjungi pondok pesantren ini, seperti Malaysia, Brunei Darussalam, hingga Mesir. Bahkan artis papan atas dan sejumlah pejabat negara juga pernah berkunjung ke sini, antara lain,  mantan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono dan Gus Dur, Jusuf Kalla, Desi Ratnasari, Krisdayanti, Anang Hermansyah, Dik Doang, Krisna Mukti, dan Tukul.


Masjid Tiban terletak di Desa Turen, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Lokasinya satu arah dengan Pantai Sendang Biru. Pun, tidak ada tarif masuk alias gratis.
(Tripnesian)