Showing posts with label Explore Surabaya. Show all posts
Showing posts with label Explore Surabaya. Show all posts

Monday 13 February 2017

Dari pusara hingga Rumah Wafat WR Soepratman di Surabaya

Patung WR Soepratman di halaman makam WR Soepratman, Surabaya, Minggu (24/4/2016).

Pusara itu berlindung di dalam pendapa bercorak jawa. Berhiaskan keramik, serta ukiran syair lagu kebangsaan di pusaranya. Di sudut halaman, berdiri sebuah patung sebagai penanda tempat terakhir Sang Komponis Bangsa.

Adalah Wage Rudolf Soepratman yang bersemayam di pusara itu. Seorang musisi sekaligus pahlawan nasional yang lahir di Somongari, Purworejo, Jawa Tengah, pada 9 Maret 1903 silam. Beliau yang menggubah lagu kebangsaan Indonesia Raya.

Perlu diketahui, ada dua versi mengenai tempat kelahirannya. Seperti dilansir harian Kompas di situsnya (link rujukan), ada kontroversi tempat kelahiran WR Soepratman. Dalam buku sejarah menyatakan Soepratman lahir di  Jatinegara, Jakarta. Sedangkan, warga Purworejo dan beberapa sumber lainnya meyakini bahwa Soepratman lahir di Desa Trembelang, Kelurahan Somongari, Purworejo. Perbedaan itu masih terjadi perdebatan hingga saat ini.

Soepratman wafat pada 17 Agustus 1938 di Surabaya. Awalnya, jasadnya dikebumikan di Kenjeran,  kemudian dipindahkan di Tambak Segaran Wetan, Rangkah, Surabaya. Tahun 2003, makam Pahlawan Nasional ini mengalami pemugaran, dan diresmikan oleh Megawati Soekarno Putri yang saat itu menjabat sebagai presiden.

Makam WR Soepratman nampak bersih dan terawat. Meski terbilang sepi, namun tiap harinya ada saja yang mengunjungi makam. Dibuka mulai pukul 08.00 WIB hingga 16.00 WIB. “Saat hari Pahlawan dan Kemerdekaan banyak pengunjung dari berbagai daerah datang ke sini,” ujar ," jelas Tamu Fitria, juru kunci makam WR Soepratman, Minggu (24/4/2016). 
 


Rumah Wafat
 
Rumah Wafat WR Soepratman di Surabaya (24/4/2016).
Wage Rudolf Soepratman adalah komponis Indonesia pertama yang menciptakan lagu-lagu perjuangan. Selain Indonesia Raya, ia juga membuat lagu lainnya, diantaranya Dari Barat Sampai ke Timur (1925), Bendera Kita (1927), Ibu Kita Kartini (1931) yang semula berjudul Raden Ajeng Kartini, Bangunlah Hai Kawan (1931), Indonesia Hai Ibuku (1927); dan tiga lagu lain yang diciptakan di Surabaya: Mars Parindra (1937), Mars Surya Wirawan (1937), dan Matahari Terbit (1938).

Lagu Indonesia Raya pertama kali dibawakan Soepratman pada Kongres Pemuda II (peristiwa Sumpah Pemuda) pada 28 Oktober 1928.  Adalah Sugondo Djojopuspito selaku Ketua Panitia kongres memberi kesempatan untuk tampil membawakan lagu Indonesia Raya. Dia membawakannya dengan gesekan biola.

Kala itu, hampir seluruh orang berdiri dan menyebut-nyebut sebagai lagu kebangsaan. Kebesaran Indonesia Raya pun dinyatakan oleh Presiden RI pertama Soekarno, “Setia kepada Indonesia Raya, setia kepada lagu Indonesia Raya yang telah kita ikrarkan sebagai lagu perjuangan”.

Soepratman sendiri, sejak Juli 1933 terus sakit-sakitan. Dia mulai mengurangi kegiatannya, dan menetap di Cimahi, lalu pindah ke Palembang. Hingga tahun 1937, ia dibawa oleh saudaranya ke Surabaya. Di rumah saudaranya itulah Soepratman menghembuskan nafas terakhir.

Rumah itu kini dijadikan museum Rumah Wafat WR Soepratman, terletak di jalan Mangga 21, Tambaksari, Surabaya. Di dalamnya terdapat duplikat biola yang dipakai WR Soepratman, artikel dan foto-foto perjalanannya semasa hidup.  Museum ini dibuka untuk umum pada hari Selasa hingga Minggu mulai pukul 09.00 WIB hingga 17.00 WIB. (Tripnesian)



Wednesday 1 February 2017

Menghabiskan waktu di Hutan Bambu Surabaya

Pengunjung melintas di Hutan Bambu, Surabaya, Sabtu (30/4/2016)

Kawasan timur Surabaya ada destinasi  wisata yang bisa menjadi alternatif untuk mengisi akhir pekan. Adalah Hutan Bambu yang terletak di Jalan Marina Asri Keputih, Kecamatan Sukolilo.  Wisata alam buatan ini menyuguhkan suasana teduh nan asri di tengah cuaca panas Kota Surabaya. Sangatlah cocok sebagai tempat bersantai, melepas kepenatan dari rutinitas sehari-hari, dan hunting foto.

Ribuan pohon bambu itu tertata rapi, bersaf-saf membentuk lorong-lorong yang sangat indah dipandang. Tak heran, jika banyak pengunjung menjadikan hutan ini sebagai tempat berburu foto.

Seperti Rima (16), sering menghabiskan waktu bersama temannya di hutan bambu ini.  "Tempatnya nyaman, teduh, pas buat nongkrong bareng teman sambil selfie," katanya, Sabtu (30/4/2016) Sore. 


Hutan Bambu Surabaya (30/4/2016).
Tak jauh beda dengan Randy, fotografer asal Surabaya, selain menikmati suasana, dia datang ke hutan bambu untuk berburu foto. Menurutnya, obyek foto di sana sangat bagus, pohon bambu yang berjajar itu membentuk sebuah komposisi yang ciamik. 

"Tidak jarang saya gunakan tempat ini untuk hunting foto koleksi pribadi maupun prewedding," jelasnya.

Sebelumnya, hutan ini adalah tempat pembuangan akhir (TPA) Keputih. Sejak dipindahkan ke  Benowo, TPA tersebut beralih menjadi hutan bambu atas inisiatif warga setempat.

Salah satu pengelola hutan bambu, Avan, menjelaskan hutan bambu ini  secara tidak sengaja menjadi destinasi wisata di Surabaya. Awalnya, warga hanya berniat membersihkan dan memanfaatkannya untuk tempat tongkrongan warga setempat saja.


“Lambat laun hutan bambu ini diketahui masyarakat luas dari mulut ke mulut, lalu semakin banyak orang yang berkunjung ke sini," terangnya. Hingga saat ini hutan bambu yang dikelola oleh warga setempat ini masih dikunjungi banyak orang.

Dikatakan Avan, kebanyakan orang yang berkunjung ke sini adalah anak muda yang ingin bersantai dan hunting foto. Mereka betah berlama-lama di dalam hutan bambu. Serta banyak juga yang memanfaatkannya untuk pemotretan prewedding.

“Pas akhir pekan pengunjung bisa mencapai 100 hingga 150 orang," paparnya.

Wisata Hutan Bambu Surabaya ini bias dikunjungi setiap hari mulai pukul 10.00 WIB hingga 17.00 WIB. Asyiknya, pengelola tidak memungut biaya masuk, hanya saja membayar biaya retribusi parkir sebesar Rp 2 ribu untuk motor, dan Rp 5 ribu untuk mobil. (Tripnesian)


Thursday 26 January 2017

Jalan-jalan ke Kampung Nelayan Kenjeran Surabaya

Sejumlah nelayan hendak melabuhkan perahunya di Nambangan, Surabaya, Jumat (6/3/2015) Siang.

Kampung Nelayan Kenjeran, sebuah kampung yang mayoritas warganya berprofesi sebagai nelayan yang terletak di sepanjang kawasan pesisir Kenjeran, Surabaya. Salah satunya di jalan Nambangan, Kecamatan Bulak, Surabaya. Di kampung ini kita bisa melihat lanskap pesisir Surabaya dan aktifitas nelayan.

Langit kelabu menyelimuti kawasan pesisir Surabaya Siang itu, Jumat (6/8/2015). Saya berdiri di tepi pantai Bulak, dimana warga Surabaya menyebutnya "Kenjeran Watu-watu". Terlihat siluet Jembatan Suramadu yang kokoh membentang di Selat Madura, menghias ratusan rumah serta perahu nelayan yang berjajar di tepian pantai Bulak.

Bagi saya, di situlah tempat terbaik untuk melihat lanskap Kampung Nelayan Bulak. Akan sangat indah dilihat jika cuaca cerah di pagi hari, terutama saat sunset.


Tak lama di sana, saya pun beranjak menuju Kampung Nelayan untuk melihat lebih dekat aktifitas di sana. Lokasinya tak jauh, hanya 200 meter dari tempat saya berdiri. Di tengah perjalanan, saya menjumpai Sentra Ikan Bulak (SIB). Bangunannya besar, berlantai dua. Bentuknya menyerupai perahu.

Di dalam SIB ada puluhan lapak yang menjual ikan hasil tangkapan nelayan, kerupuk ikan, kerajinan kerang, dan kuliner khas pesisir, seperti lontong kupang, sate kerang, dan ikan bakar.

Sesampai di Kampung Nelayan, tampak warga sedang sibuk dengan ikan hasil tangkapannya. Pria dan wanita berkumpul secara bergolongan. Ada yang mengambil ikan di perahu, memilih ikan, menjahit jaring, menguliti kerang, dan memeriksa ikan yang dijemur di halaman rumahnya. Di Kampung ini, pengunjung bisa melihat proses pengolahan ikan secara langsung sekaligus membelinya.


Nelayan sedang memeriksa ikan asin yang dijemur di Nambangan, Kenjeran, Surabaya, Sabtu (28/2/2015) Siang.

Ada berbagai jenis hasil laut yang ditangkap oleh nelayan di sana, diantaranya Ikan bulu ayam, ikan bulu mentok, tengiri, pari, keting, kerang burung, kerang hijau, kerang bulu, siput laut, terung, udang, kepiting, dan udang halus.

Warga di Kampung Nelayan cukup ramah. Sebagian besarnya adalah warga pendatang dari Madura. Suasananya cukup ramai, bisa dibilang kawasan padat penduduk.

Sekedar diketahui, kampung nelayan kini menjadi semakin cantik dan bersih semenjak dilakukan program perbaikan pesisir Surabaya oleh Pemerintah Kota. Salah satu programnya adalah mengecat permukiman di Kampung Nelayan Kenjeran. Meski belum seluruhnya rumah dicat, Kampung Nelayan Kenjterlihat berwarna-wani.

Kampung Nelayan Kenjeran cukup layak menjadi destinasi wisata di Surabaya. Hanya saja bau amis dari ikan tangkapan nelayan cukup mengurangi kenyamanan pengunjung. Sebab, pengolahan ikan di sini tidak ramah lingkungan. (Tripnesian)



Sunday 22 January 2017

Jembatan Suroboyo, destinasi wisata baru di Surabaya

Jembatan Suroboyo saat diuji coba, Kamis (7/4/2016) Sore.

Kawasan pesisir Kota Surabaya kini tampak berbeda. Di tangan Wali Kota Tri Rismaharini, wajah pesisir yang dulunya terlihat kumuh, kini berubah menjadi kawasan yang apik, dan menjadi destinasi wisata baru di Surabaya.

Salah satunya adalah kawasan pesisir Kenjeran. Sejak dibangunnya Jembatan Suroboyo, atau yang disebut Jembatan Air Mancur Menari, kawasan Kenjeran terlihat cantik. Jembatan ini berada di jalan Raya Pantai Lama.

Jembatan Suroboyo diresmikan oleh Risma pada Sabtu Malam, (9/7/2016). Jembatan ini memiliki panjang 800 meter menjorok ke laut. Bentuknya seperti busur dengan air mancur warna-warni yang menari di tengahnya. Selain itu, pengunjung dimanjakan dengan lagu-lagu khas Kota Surabaya, dan musik instrumental klasik yang diputar secara beriringan dengan air mancur.

Namun sayangnya, pertunjukan air mancur menari itu diputar pada hari dan jam tertentu saja, yakni pada hari sabtu, mulai pukul 20.00 WIB.

Sementara itu, untuk melihat view jembatan dari atas, bisa dari anjungan yang berada di pintu masuk dan di tengah jembatan. Khusus di anjungan tengah jembatan ada peraturannya, yakni tidak boleh memakai rok tinggi dan sepatu hak tinggi, serta tidak boleh dinaiki oleh anak-anak tanpa pengawasan. Sebab anjungan ini berlantai dua dengan lantai transparan,  jika menggunakan rok tinggi akan terlihat dan menggangu orang yang berada di bawah. Disamping itu lantai anjungan ini cukup licin dan anginnya sangat kencang, dikhawatirkan akan terpeleset jika memakai sepatu hak tinggi.

Jembatan ini juga menjadi spot terbaik melihat sunrise. Rona fajar sampai terbitnya matahari tampak indah dilihat di sana. Tidak sedikit pengunjung dan para pemburu foto mengambil momen sunrise di jembatan ini.

Disamping itu, tepat berada di sebelah Jembatan Suroboyo ada sebuah taman yang bisa dijadikan spot untuk melihat sunrise. Di dalam taman itu juga ada arena bermain anak, lapangan futsal, dan pertunjukan musik. Tiket masuk masuk taman ini sebesar Rp 10 ribu per orang.

Jembatan Suroboyo buka tiap hari. Asyiknya, untuk menikmati keindahan air mancur menari dan sunrise di sana tidak dipungut biaya masuk. (Tripnesian)



Tuesday 17 January 2017

Berburu di Pasar Burung Bratang

Sejumlah pengunjung mengamati koleksi burung di lantai bawah pasar burung Bratang, Surabaya, Senin (14/3/2016).

Awan mendung menyelimuti Kota Surabaya siang itu. Lalu-lalang pengunjung nampak memenuhi lorong-lorong gang. Pun, ribuan kicau burung terdengar riuh bersautan, sebagai penanda di Pasar Burung Bratang.

Mungkin bagi sebagian besar orang, khususnya pecinta burung di Surabaya, tidak asing dengan pasar ini. Keberadaannya sudah dikenal sejak tahun 1980 lalu. Bisa dibilang, pasar burung ini adalah yang terbesar di Kota Surabaya.

Berbagai jenis burung hias maupun kicau dijual di pasar ini, seperti love bird, burung hantu, gagak, parkit, burung gereja, nuri, kutilang, perkutut, kenari, kacer, cendet, muray, macaw, cucak hijau, cucak rowo, dan masih banyak lagi burung jenis lainnya. Harganya pun variatif, mulai dari ribuan hingga puluhan juta rupiah.

Pasar burung Bratang terbagi menjadi dua bagian, yakni lantai bawah dan atas. Masing-masing lantai menjual jenis burung yang berbeda. Lapak-lapak di lantai bawah sebgaian besar menjual jenis burung hias, seperti burung parkit, gereja, nuri, dan burung hantu. Sedangkan di lantai atas menjual burung kicau, seperti kenari, cended, kacer, muray, dan cucak rowo.

Saya mencoba menghampiri dan bertanya ke salah satu pemilik lapak di lantai bawah. Namanya Sabar (39), dia mengatakan lantai bawah kebanyakan menjual burung yang harganya tergolong murah.

"Pecinta kicau yang dompetnya tebal biasanya langsung naik ke lantai atas," ujarnya, sembari melayani pembeli, Senin (14/3/2016).

Pasar burung yang terletak di jalan Bratang Binangun ini juga menjual makanan burung, dan terdapat pula pengrajin sangkar yang berada di lantai bawah. Biasanya sebagian pengunjung sekaligus membeli makanan dan sangkar burung di sini.

Ada sekitar 5 pengrajin, salah satunya adalah Abdul Hamid (38), pria asal Madura ini sudah puluhan tahun menggeluti usaha kerajinannya di pasar burung ini.

"Satu sangkar kayu jati harganya 300 ribu rupiah," jelasnya. Sebagian besar sangkar yang diproduksi oleh pengrajin di pasar ini terbuat dari kayu jati.

Cakupan pasarnya pun tidak hanya di pasar burung Bratang saja, tapi sudah meluas ke berbagai daerah, diantaranya Kediri, Pasuruan, Probolinggo, Makassar, dan Bengkulu. (Tripnesian)



Wednesday 4 January 2017

Mengunjungi Kampung Reog di Surabaya

Patung pemain reog yang terletak di pintu masuk Kampung Reog,, Surabaya, Sabtu (19/3/2016).

Siapa yang tak kenal Reog? Hampir seluruh masyarakat Indonesia mengenal  kesenian yang berasal dari Ponorogo, Jawa Timur ini. Reog menjadi salah satu identitas budaya Indonesia, meski secara resmi belum diakui oleh Unesco sebagai warisan budaya dunia.

Keberadaanya saat ini tidak hanya ditemui di Ponorogo saja. Banyak kelompok kesenian reog bermunculan di berbagai daerah di Indonesia, salah satunya di kota Surabaya. Adalah Kampung Reog yang terletak di jalan Kertajaya, di dalam kampung ini ada sebuah kelompok yang bernama Reog Singo Mangku Joyo. 


Kelompok kesenian itu tidak hanya mampu menampilkan pertunjukan Reog saja, namun juga membuat topengnya. Salah satu senimannya, Wawan, mampu membuat topeng berbagai karakter penokohan Reog.

Keahliannya itu ia tekuni sejak tahun 2006 lalu. Berawal dari sang istri, Susan, ide bisnis kerajinan topeng ini muncul. Kala itu, Susan membuatkan topeng ganongan yang terbuat dari kertas untuk buah hatinya. Topeng buatan Susan itu terlihat bagus, Wawan pun mengajaknya membuat topeng berbagai tokoh untuk dijual.


Topeng buatan mereka diterima dengan baik oleh masyarakat, pesanan pun mulai berdatangan. Hingga saat ini Wawan berhasil memasarkan topengnya di berbagai daerah, seperti Surabaya, Sidoarjo, Lamongan, dan Tarakan di Kalimantan.


Foto kiri: Wawan sedang mengecat topeng ganongan di rumahnya, Kampung Reog, Surabaya, Sabtu (19/3/2016). Foto kanan: Sejumlah topeng buatan Wawan di Kampung Reog, Surabaya, Sabtu (19/3/2016).

Saat saya mengujungi rumahnya, Wawan nampak sibuk membuat topeng. Puluhan topeng ganongan berwarna merah dan kuning berjajar memadati ruangan. Tak mau melewatkan momen, saya pun mengambil kamera DSLR untuk mengabadikannya.

Topeng buatan Wawan ini terbuat dari dua bahan dasar yang berbeda, yakni kertas dan kayu. Tentu perbedaan bahan itu juga menentukan besaran harganya. Topeng Bujang Ganong berbahan kertas dibanderol Rp 25 ribu per buah, sedangkan yang berbahan dasar kayu dihargai Rp 75 ribu per buah.

"Proses pembuatan topeng Bujang Ganong berbahan kertas memakan waktu tiga hari, sedangkan bahan kayu prosesnya satu bulan," ujar Wawan, sembari mengecat topeng di rumahnya, Sabtu(19/3/2016).

Wawan dan Susan tidak hanya membuat topeng reog saja, mereka juga menerima pesanan pernak pernik tari Reog, barongsai, dan perlengkapan kesenian jaranan. Pernak-pernik tersebut ia hargai mulai Rp 25 ribu hingga 500 ribu.  (Tripnesian)