Showing posts with label Support Local. Show all posts
Showing posts with label Support Local. Show all posts

Sunday, 26 February 2017

Jalan-jalan di Kampoeng Batik Jetis Sidoarjo

Perajin sedang membatik di Kampng Batik Jetis, Sidoarjo, Selasa (12/4/2016)

Jalan-jalan di Sidoarjo, Jawa Timur, bukan hanya ke museum Mpu Tantular dan candi Pari saja, tapi ada satu lagi tempat yang layak untuk dikunjungi. Adalah Kampoeng Batik Jetis yang ada di jalan Pangeran Diponegoro, Lemahputro, Kabupaten Sidoarjo. Kampung Batik ini adalah satu-satunya di Sidoarjo.

Konon, kerajinan batik di sini adalah turunan dari Kerajaan Kediri. Menurut beberapa sumber, keberadaannya turun menurun sejak abad ke-16. Warga sekitar meyakini hal itu. Ketika saya mampir ke kampung ini, ada gapura besi di pintu masuk yang bertuliskan "Kampoeng Batik Jetis sejak 1675".

Mulanya, hanya satu orang saja yang membatik. Namun seiring berjalannya waktu, banyak orang menggeluti dan ahli membatik. Hingga saat ini, batik menjadi komoditas utama sebagian besar warga kampung Jetis.


Dari 40 pembatik di Sidoarjo, tersebar 35 pembatik di kampung Jetis. Disana, setiap pengrajin rata-rata memiliki 5 hingga 15 karyawan.
Sejumlah kain batik di salah satu toko batik Kampung Batik
Jetis Sidoarjo, Selasa (12/4/2016).
Tak heran jika Jetis adalah kampung terbesar yang memproduksi batik di Sidoarjo. Hingga saat ini masih bertahan dan dijadikan kampung wisata batik oleh pemerintah setempat.

Sejatinya batik Jetis secara proses pembuatannya tidak jauh beda dengan batik daerah lainnya. Hanya saja motif utama batik Jetis adalah beras tumpah dan daun tebu. Dimana motif tersebut bermakna kemakmuran.


Saya menghampiri salah satu toko batik di Jetis, Toko Wardhani namanya. Toko ini menjual kain dan baju batik hasil tangan pengrajin di Kampoeng Batik Jetis. Pegawai toko, Rosi, mengatakan kain batik di sini per meternya dibanderol mulai harga Rp 900 ribu hingga Rp 150 ribu. Harga tersebut tergantung motif dan jenis kainnya.

"Kampung ini paling ramai dikunjungi pada saat akhir pekan dan hari libur," ujarnya, Selasa (12/4/2016) Siang. Rosi mengatakan, paling ramai omset perbulan di toko Wardhani mencapai Rp 100 juta.

Di Kampoeng Batik Jetis bisa melihat langsung pembuatan kain batik sekaligus membelinya. Tidak ada waktu khusus di kampung ini, hanya saja para pengrajin dan toko rata-rata memulai aktifitasnya pukul 09.00 WIB hingga 21.00 WIB. (Tripnesian)



Sunday, 5 February 2017

Mengunjungi kerajinan jimbe di Blitar

Perajin sedang menghias jimbe di Blitar, Selasa (31/3/2015).

Selain terkenal dengan kerajinan batok atau tempurung kelapa, Kota Blitar juga terkenal akan kerajinan kayunya. Salah satunya adalah kerajinan jimbe, kerajinan ini tak hanya terkenal di dalam negeri saja, namun juga dikenal di beberapa Negara di Asia, Eropa, dan Amerika.

Kerajinan ini terpusat di Kecamatan Kepanjen Kidul, berjarak sekitar 2 km dari makam Presiden pertama Indonesia, Soekarno. Tidak diketahui secara pasti sejak kapan kerajinan ini ada di sana, namun menurut warga setempat kerajinan ini  sudah ada sejak puluhan tahun yang lalu.

Salah satu perajin kayu, Nursanti (43) mengatakan, awalnya perajin di Kepanjen membuat produk mainan anak, seperti yoyo. Sampai pada tahun 2000-an, banyak perajin yang gulung tikar karena sepi order, hingga akhirnya beralih ke produk alat musik.


Perajin sedang membuat jimbe di Blitar,
Selasa (31/3/2015).
“Awalnya ada turis dari Jerman yang berkunjung ke sini untuk memesan jimbe, dia membekali satu buah jimbe untuk dibuat patokan dalam membuatnya,” ujarnya, Selasa (31/3/2015) Siang. Dikatakan Nursanti, sebelumnya para perajin belum pernah membuat jimbe.

Saat ini, ada sekitar 150 pengrajin di kecamatan Kepanjen, meliputi desa Tanggung, Santren, dan Ngadirejo. Produk yang dihasilkan cukup beragam, diantaranya jimbe, calti, rebana, kendang, dan bedug. Namun, yang ramai dipesan adalah jimbe.

Jenis dan ukuran jimbe yang diproduksi mulai ukuran terkecil 12 cm hingga besar 1 meter. Sementara itu, jenisnya ada dua, yaitu jimbe polos tanpa lukisan dan jimbe lukis. Jimbe itu dilukis menggunakan cat tembok. Sedangkan untuk harganya berkisar antara Rp 8 ribu hingga 1.5 juta. Patokan harga tersebut sesuai ukuran dan lukisannya.

Nursanti mengatakan, saat ini jimbe yang diproduksi oleh pengrajin sudah tersebar di berbagai kota di Indonesia, yaitu Jakarta, Bandung, Solo, Yogyakarta, Malang, Jember, Surabaya, Bali, dan padang. Bahkan sampai ke luar negeri, diantaranya Korea, Tiongkok, Jamaica, dan Jerman.

“tiap seminggu sekali kita mengirim jimbe sebanyak 1500 buah ke Korea,” jelas wanita yang telah menekuni usaha kerajinan ini sejak 14 tahun yang lalu. (Tripnesian)



Thursday, 26 January 2017

Jalan-jalan ke Kampung Nelayan Kenjeran Surabaya

Sejumlah nelayan hendak melabuhkan perahunya di Nambangan, Surabaya, Jumat (6/3/2015) Siang.

Kampung Nelayan Kenjeran, sebuah kampung yang mayoritas warganya berprofesi sebagai nelayan yang terletak di sepanjang kawasan pesisir Kenjeran, Surabaya. Salah satunya di jalan Nambangan, Kecamatan Bulak, Surabaya. Di kampung ini kita bisa melihat lanskap pesisir Surabaya dan aktifitas nelayan.

Langit kelabu menyelimuti kawasan pesisir Surabaya Siang itu, Jumat (6/8/2015). Saya berdiri di tepi pantai Bulak, dimana warga Surabaya menyebutnya "Kenjeran Watu-watu". Terlihat siluet Jembatan Suramadu yang kokoh membentang di Selat Madura, menghias ratusan rumah serta perahu nelayan yang berjajar di tepian pantai Bulak.

Bagi saya, di situlah tempat terbaik untuk melihat lanskap Kampung Nelayan Bulak. Akan sangat indah dilihat jika cuaca cerah di pagi hari, terutama saat sunset.


Tak lama di sana, saya pun beranjak menuju Kampung Nelayan untuk melihat lebih dekat aktifitas di sana. Lokasinya tak jauh, hanya 200 meter dari tempat saya berdiri. Di tengah perjalanan, saya menjumpai Sentra Ikan Bulak (SIB). Bangunannya besar, berlantai dua. Bentuknya menyerupai perahu.

Di dalam SIB ada puluhan lapak yang menjual ikan hasil tangkapan nelayan, kerupuk ikan, kerajinan kerang, dan kuliner khas pesisir, seperti lontong kupang, sate kerang, dan ikan bakar.

Sesampai di Kampung Nelayan, tampak warga sedang sibuk dengan ikan hasil tangkapannya. Pria dan wanita berkumpul secara bergolongan. Ada yang mengambil ikan di perahu, memilih ikan, menjahit jaring, menguliti kerang, dan memeriksa ikan yang dijemur di halaman rumahnya. Di Kampung ini, pengunjung bisa melihat proses pengolahan ikan secara langsung sekaligus membelinya.


Nelayan sedang memeriksa ikan asin yang dijemur di Nambangan, Kenjeran, Surabaya, Sabtu (28/2/2015) Siang.

Ada berbagai jenis hasil laut yang ditangkap oleh nelayan di sana, diantaranya Ikan bulu ayam, ikan bulu mentok, tengiri, pari, keting, kerang burung, kerang hijau, kerang bulu, siput laut, terung, udang, kepiting, dan udang halus.

Warga di Kampung Nelayan cukup ramah. Sebagian besarnya adalah warga pendatang dari Madura. Suasananya cukup ramai, bisa dibilang kawasan padat penduduk.

Sekedar diketahui, kampung nelayan kini menjadi semakin cantik dan bersih semenjak dilakukan program perbaikan pesisir Surabaya oleh Pemerintah Kota. Salah satu programnya adalah mengecat permukiman di Kampung Nelayan Kenjeran. Meski belum seluruhnya rumah dicat, Kampung Nelayan Kenjterlihat berwarna-wani.

Kampung Nelayan Kenjeran cukup layak menjadi destinasi wisata di Surabaya. Hanya saja bau amis dari ikan tangkapan nelayan cukup mengurangi kenyamanan pengunjung. Sebab, pengolahan ikan di sini tidak ramah lingkungan. (Tripnesian)



Friday, 20 January 2017

Mengunjungi kerajinan Topeng Malangan

Sejumlah Topeng Malangan di Padepokan Asmorobangun, Malang, Rabu (20/1/2016).

Tri Handoyo, seniman tari dan pengrajin Topeng Malangan di Kabupaten Malang. Dia meneruskan jejak dari mendiang kakeknya, Mbah Karimun, seniman tari yang mendapat penghargaan sebagai Maestro Seni Tradisi dari Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, Jero Wacik, pada 2007 lalu.

Suasana pedesaan nan asri mengantarkan saya ke Padepokan Asmorobangun. Sebuah padepokan yang didirikan oleh Mbah Karimun pada 1978 silam di Desa Kedung Monggo, Kecamatan Pakisaji, Kabupaten Malang, sebagai tempat berkumpulnya penari Topeng Malangan. Pun digunakan sebagai ‘bengkel’ pembuatan topengnya.

Tidak terlalu jauh dari gapura desa, sekitar 10 menit saya sampai di padepokan. Di dalamnya ada bangunan serupa galeri yang ukurannya tak begitu besar. Tepat di belakangnya, berdiri pendopo yang biasanya digunakan untuk latihan dan pertunjukan tari.


Di dalam galeri terlihat Tri Handoyo sedang sibuk membuat topeng. Melihat saya berjalan menghampirinya, ia pun menghentikan kegiatannya, lalu menyapa saya. Perkenalan berlanjut obrolan tentang Topeng Malangan di Kedung Monggo.

Dalam obrolan itu, dia mengatakan, mulai belajar menari dan membuat topeng saat masih duduk di bangku sekolah dasar, diajarkan langsung oleh Mbah Karimun.

“Hati saya merasa terpanggil untuk meneruskan budaya ini,” terangnya di galeri Padepokan Asmorobangun, Rabu (20/1/2016) Siang.
 

Tri Handoyo sedang membuat Topeng Malangan di Padepokan Asmorobangun, Malang, Rabu (20/1/2016) Siang.

Handoyo saat ini mampu membuat 76 karakter penokohan dalam Topeng Malangan. Tokoh utamanya adalah Panji Asmorobangun dan Putri Sekartaji. Dikatakannya, warna dasar Topeng Malangan adalah merah, putih, kuning, hitam, dan hijau. Dalam tiap warnanya memiliki makna, yakni merah yang berarti keberanian, putih melambangkan kesucian, hitam adalah kebijaksanaan, kuning menyimbolkan kesenangan, dan hijau bermakna kedamaian.

Ada dua jenis topeng yang dibuatnya yakni, topeng pertunjukan dan aksesoris. Keduanya yang membedakan adalah bahan bakunya, untuk aksesoris terbuat dari kayu sengon, sedangkan pertunjukan berbahan baku dari kayu nangka, beringin, mentaos, dan kembang.  Keseluruhan produk dihargai mulai Rp 8 ribu hingga Rp 1 Juta, harga tersebut menyesuaikan ukuran, bahan dan tingkat kesulitannya.

Hasil kerajiannya itu tidak hanya beredar di pasar domestik saja, tapi sudah masuk ke pasar internasional. Handoyo mengatakan, ada beberapa pembeli dari luar negara yang memesan topeng buatannya, antara lain dari Rusia, Belanda, Amerika, Inggris, Australia, Jepang, dan Thailand.

“Dalam tiap bulan saya mengirim 20 topeng ke Rusia,” tutupnya. (Tripnesian)



Tuesday, 17 January 2017

Berburu di Pasar Burung Bratang

Sejumlah pengunjung mengamati koleksi burung di lantai bawah pasar burung Bratang, Surabaya, Senin (14/3/2016).

Awan mendung menyelimuti Kota Surabaya siang itu. Lalu-lalang pengunjung nampak memenuhi lorong-lorong gang. Pun, ribuan kicau burung terdengar riuh bersautan, sebagai penanda di Pasar Burung Bratang.

Mungkin bagi sebagian besar orang, khususnya pecinta burung di Surabaya, tidak asing dengan pasar ini. Keberadaannya sudah dikenal sejak tahun 1980 lalu. Bisa dibilang, pasar burung ini adalah yang terbesar di Kota Surabaya.

Berbagai jenis burung hias maupun kicau dijual di pasar ini, seperti love bird, burung hantu, gagak, parkit, burung gereja, nuri, kutilang, perkutut, kenari, kacer, cendet, muray, macaw, cucak hijau, cucak rowo, dan masih banyak lagi burung jenis lainnya. Harganya pun variatif, mulai dari ribuan hingga puluhan juta rupiah.

Pasar burung Bratang terbagi menjadi dua bagian, yakni lantai bawah dan atas. Masing-masing lantai menjual jenis burung yang berbeda. Lapak-lapak di lantai bawah sebgaian besar menjual jenis burung hias, seperti burung parkit, gereja, nuri, dan burung hantu. Sedangkan di lantai atas menjual burung kicau, seperti kenari, cended, kacer, muray, dan cucak rowo.

Saya mencoba menghampiri dan bertanya ke salah satu pemilik lapak di lantai bawah. Namanya Sabar (39), dia mengatakan lantai bawah kebanyakan menjual burung yang harganya tergolong murah.

"Pecinta kicau yang dompetnya tebal biasanya langsung naik ke lantai atas," ujarnya, sembari melayani pembeli, Senin (14/3/2016).

Pasar burung yang terletak di jalan Bratang Binangun ini juga menjual makanan burung, dan terdapat pula pengrajin sangkar yang berada di lantai bawah. Biasanya sebagian pengunjung sekaligus membeli makanan dan sangkar burung di sini.

Ada sekitar 5 pengrajin, salah satunya adalah Abdul Hamid (38), pria asal Madura ini sudah puluhan tahun menggeluti usaha kerajinannya di pasar burung ini.

"Satu sangkar kayu jati harganya 300 ribu rupiah," jelasnya. Sebagian besar sangkar yang diproduksi oleh pengrajin di pasar ini terbuat dari kayu jati.

Cakupan pasarnya pun tidak hanya di pasar burung Bratang saja, tapi sudah meluas ke berbagai daerah, diantaranya Kediri, Pasuruan, Probolinggo, Makassar, dan Bengkulu. (Tripnesian)



Wednesday, 4 January 2017

Mengunjungi Kampung Reog di Surabaya

Patung pemain reog yang terletak di pintu masuk Kampung Reog,, Surabaya, Sabtu (19/3/2016).

Siapa yang tak kenal Reog? Hampir seluruh masyarakat Indonesia mengenal  kesenian yang berasal dari Ponorogo, Jawa Timur ini. Reog menjadi salah satu identitas budaya Indonesia, meski secara resmi belum diakui oleh Unesco sebagai warisan budaya dunia.

Keberadaanya saat ini tidak hanya ditemui di Ponorogo saja. Banyak kelompok kesenian reog bermunculan di berbagai daerah di Indonesia, salah satunya di kota Surabaya. Adalah Kampung Reog yang terletak di jalan Kertajaya, di dalam kampung ini ada sebuah kelompok yang bernama Reog Singo Mangku Joyo. 


Kelompok kesenian itu tidak hanya mampu menampilkan pertunjukan Reog saja, namun juga membuat topengnya. Salah satu senimannya, Wawan, mampu membuat topeng berbagai karakter penokohan Reog.

Keahliannya itu ia tekuni sejak tahun 2006 lalu. Berawal dari sang istri, Susan, ide bisnis kerajinan topeng ini muncul. Kala itu, Susan membuatkan topeng ganongan yang terbuat dari kertas untuk buah hatinya. Topeng buatan Susan itu terlihat bagus, Wawan pun mengajaknya membuat topeng berbagai tokoh untuk dijual.


Topeng buatan mereka diterima dengan baik oleh masyarakat, pesanan pun mulai berdatangan. Hingga saat ini Wawan berhasil memasarkan topengnya di berbagai daerah, seperti Surabaya, Sidoarjo, Lamongan, dan Tarakan di Kalimantan.


Foto kiri: Wawan sedang mengecat topeng ganongan di rumahnya, Kampung Reog, Surabaya, Sabtu (19/3/2016). Foto kanan: Sejumlah topeng buatan Wawan di Kampung Reog, Surabaya, Sabtu (19/3/2016).

Saat saya mengujungi rumahnya, Wawan nampak sibuk membuat topeng. Puluhan topeng ganongan berwarna merah dan kuning berjajar memadati ruangan. Tak mau melewatkan momen, saya pun mengambil kamera DSLR untuk mengabadikannya.

Topeng buatan Wawan ini terbuat dari dua bahan dasar yang berbeda, yakni kertas dan kayu. Tentu perbedaan bahan itu juga menentukan besaran harganya. Topeng Bujang Ganong berbahan kertas dibanderol Rp 25 ribu per buah, sedangkan yang berbahan dasar kayu dihargai Rp 75 ribu per buah.

"Proses pembuatan topeng Bujang Ganong berbahan kertas memakan waktu tiga hari, sedangkan bahan kayu prosesnya satu bulan," ujar Wawan, sembari mengecat topeng di rumahnya, Sabtu(19/3/2016).

Wawan dan Susan tidak hanya membuat topeng reog saja, mereka juga menerima pesanan pernak pernik tari Reog, barongsai, dan perlengkapan kesenian jaranan. Pernak-pernik tersebut ia hargai mulai Rp 25 ribu hingga 500 ribu.  (Tripnesian)



Tuesday, 15 November 2016

Balada para pematung Trowulan Mojokerto


<img src='tripnesian_kerajinan-patung-trowulan_01.jpg' width='100' height='100' alt='kerajinan patung trowulan'/>
Pematung sedang memahat patung di Desa Jati Sumber, Trowulan, Mojokerto, (29/10) Siang

Trowulan, menyusurinya seolah waktu berputar kembali pada masa silam. Bagaimana tidak, di daerah ini banyak ditemukan situs peninggalan Kerajaan Majapahit. Demikian pula dengan kerajinan patungnya, hingga kini masih terpelihara dengan baik.

Sebut saja Pematung Trowulan, keberadaanya saat ini tersebar di 2 kelurahan yakni Kelurahan Bejijong dan Ringin Lawang, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto. Salah satunya di  Desa Jati Sumber, Kelurahan Bejijong. Hampir seluruh warga desa ini adalah pematung.

Berbagai macam patung diproduksi oleh mereka, antara lain patung budha,  wisnu, siwa, dwarapala, dan ganesha. Ukurannya pun cukup beragam, mulai dari ukuran paling kecil 15 sentimeter hingga besar 4 meter.

Waras (45), salah satu pematung di Desa Jati Sumber yang meneruskan profesi dari mendiang bapaknya. Ia mulai menekuni kerajinan ini  sejak umur 16 tahun. Dari bapaknya lah Waras belajar membuat patung.

"Rata-rata pematung di Trowulan adalah profesi turunan," ujarnya, saat ditemui di rumah produksinya, (2/6/2015) Siang.

Patung yang diproduksi Waras terbuat dari batu hitam (andesit) dan batu hijau. Ia mengatakan yang membedakan dari bahan baku tersebut adalah daya tahannya. Bahan baku batu andesit lebih tahan lama daripada batu hijau. Harganya pun berbeda, patung batu andesit berkisar antara Rp 500 Ribu hingga Rp 19 Juta. Misalnya patung ganesha ukuran 60 sentimeter ia jual Rp 1,7 Juta. Sedangkan patung batu hijau ukuran 75 sentimeter sebesar Rp 250 Ribu. Patokan harga tersebut sesuai ukuran dan tingkat kesulitannya.

“Yang paling sering dipesan adalah patung Budha. Pemesan paling banyak dari Bali, India, Jerman, Amerika, Korea, Jepang, dan Thailand,” ungkap Waras.

<img src='tripnesian_kerajinan-patung-trowulan_03.jpg' width='100' height='100' alt='kerajinan patung trowulan'/>
Pematung sedang memahat patung di Desa Jati Sumber, Trowulan, Mojokerto, (2/6) Siang

Ia menuturkan proses pembuatannya memakan waktu 1 minggu hingga 1 bulan. Patung Budha ukuran 2 meter membutuhkan waktu 2 minggu.

Sementara itu, ada juga home industry yang memproduksi patung berbahan dasar campuran semen dan pasir (cor). Patung cor lebih cepat pengerjaannya. Ukuran 2 meter bisa selesai dalam waktu 3 hari. Harganya pun cukup murah, patung cor ukuran 2 meter dihargai Rp 2 Juta.

Proses pembuatan patung cor berbeda tidak seperti patung batu yang dibuat dengan cara dipahat. Patung cor dibuat menggunakan cetakan atau mal. Oleh karena itulah pembuatannya lebih cepat daripada patung batu.


Jika dilihat sekilas patung cor memang seperti patung batu. Namun, perbedaannya terletak pada guratan pahatannya, dan sudah pasti daya tahannya lebih rapuh daripada patung batu.

Persaingan antara keduanya memang ketat dipasaran. Tentu dengan kelebihan dan kelemahan masing-masing. Namun, bisa jadi keberadaan patung cor menjadi ancaman bagi pematung batu. (Tripnesian)


Wednesday, 9 November 2016

Batik Druju, batik khas Malang yang mendunia

<img src='tripnesian_batik-druju-malang_01.jpg' width='100' height='100' alt='batik druju khas malang'/>
Pembatik sedang menulis motif di butik Andis, Druju, Malang (10/5) Siang.

Suatu hal khususnya keahlian jika ditekuni akan membuahkan hasil. Apalagi hasil karya tersebut memiliki keindahan dan nilai seni yang tinggi pasti akan melenggang di ranah nasional bahkan internasional.
 

Salah satunya adalah Antik Sumardiyanti  (48), wanita asal Druju, Kabupaten Malang, berhasil membawa keahlian membatiknya ke ranah internasional. Batik tulis yang Ia beri nama Andis ini berhasil menembus pasar Eropa dan Amerika. Tak hanya itu, secara tidak langsung Ia juga membesarkan nama tanah kelahirannya.

Batik butik Andis atau dikenal dengan batik Druju ini dirintis pada tahun 1996 lalu. Menilik dari website pribadinya, Antik Sumardiyanti atau akrab disapa Antik Subagio mengawali karirnya di Solo dan Yogyakarta. Di daerah “kesultanan” itu Ia belajar membatik. Selang beberapa tahun, setelah dirasa cukup ilmu, Ia membuat 6 sket (desain) batik. Oleh karena belum memiliki peralatan dan tenaga pembatik, desain tersebut kemudian dikirim ke Tanjung Bumi, Madura, untuk proses pembatikan. 

Kerja kerasnya itu akhirnya membuahkan hasil. Batik yang Ia hasilkan mendapat apresiasi dari mitra kerja dan teman-temanya dari luar negeri seperti Italia, Jepang, Perancis, dan Amerika.  Berawal dari situlah order dari dalam negeri maupun luar negeri mulai berdatangan.


Kini, Anti memiliki puluhan tenaga pembatik yang Ia pekerjakan di butiknya. Sebagian besar pembatik dari Desa Druju. Produknya pun bertambah, tak hanya memproduksi batik tulis, tapi juga batik cap.

<img src='tripnesian_batik-druju-malang_02.jpg' width='100' height='100' alt='batik druju khas malang'/>
Sejumlah pembatik sedang menyelesaikan pekerjaanya di butik Andis, Druju, Malang (10/5).

Dalam websitenya, Antik mengatakan usaha yang dirintisnya ini bukan semata-mata karena keahlian yang diwariskan oleh orang tuanya. Namun, semua ini karena kecintaan terhadap batik. Hal itu tercermin dari orang tuanya yang suka membatik untuk dipakai sendiri.  Selain itu, Ia termotivasi untuk menciptakan sesuatu yang menjadi ciri khas Kabupaten Malang.

Perbedaan batik Druju dengan batik lainnya terletak pada proses menerakan atau menulis motif dalam pembuatan baju batik dan karakter motifnya. Motif baju batik Druju tidak terputus, bagian depan dengan belakang baju motifnya tersambung. Beda dengan baju batik lainnya yang terputus motifnya pada bagian depan dengan belakang baju. 

Hal itu karena proses pembuatan baju batik Druju awalnya bukan dari lembaran kain batik lalu dijahit menjadi baju. Namun sebaliknya dijahit menjadi baju dulu, baru setelah itu dibatik. Selain itu batik Druju juga memiliki khas pada motifnya, yakni motif yang diangkat dari lingkungan sekitar Desa Druju, seperti pantai Balekambang, Sendangbiru, dan Goa Cina. Batik Druju juga mempunyai cirri-ciri, yaitu menggunakan warna-warna yang pekat.


Bahan dasar kain batik Druju cukup variatif, yakni kain sutera sifon, sutera satin, sutera ATBM, dan katun. Sedangkan untuk harga dipatok sesuai motif, bahan kain, dan kerumitan teknik pembuatannya. Batik premium dijual dengan harga Rp 2 juta hingga Rp 7 juta untuk busana seperti kemeja Batik laki-laki, blus perempuan, dan tunik juga gaun panjang. Sementara kain dan selendang dibanderol Rp 6 juta hingga Rp 20 juta.  Juga bisa dibeli per item dengan harga mulai Rp 400 ribu hingga Rp 35 juta. (Tripnesian)