Sunday 26 February 2017

Jalan-jalan di Kampoeng Batik Jetis Sidoarjo

Perajin sedang membatik di Kampng Batik Jetis, Sidoarjo, Selasa (12/4/2016)

Jalan-jalan di Sidoarjo, Jawa Timur, bukan hanya ke museum Mpu Tantular dan candi Pari saja, tapi ada satu lagi tempat yang layak untuk dikunjungi. Adalah Kampoeng Batik Jetis yang ada di jalan Pangeran Diponegoro, Lemahputro, Kabupaten Sidoarjo. Kampung Batik ini adalah satu-satunya di Sidoarjo.

Konon, kerajinan batik di sini adalah turunan dari Kerajaan Kediri. Menurut beberapa sumber, keberadaannya turun menurun sejak abad ke-16. Warga sekitar meyakini hal itu. Ketika saya mampir ke kampung ini, ada gapura besi di pintu masuk yang bertuliskan "Kampoeng Batik Jetis sejak 1675".

Mulanya, hanya satu orang saja yang membatik. Namun seiring berjalannya waktu, banyak orang menggeluti dan ahli membatik. Hingga saat ini, batik menjadi komoditas utama sebagian besar warga kampung Jetis.


Dari 40 pembatik di Sidoarjo, tersebar 35 pembatik di kampung Jetis. Disana, setiap pengrajin rata-rata memiliki 5 hingga 15 karyawan.
Sejumlah kain batik di salah satu toko batik Kampung Batik
Jetis Sidoarjo, Selasa (12/4/2016).
Tak heran jika Jetis adalah kampung terbesar yang memproduksi batik di Sidoarjo. Hingga saat ini masih bertahan dan dijadikan kampung wisata batik oleh pemerintah setempat.

Sejatinya batik Jetis secara proses pembuatannya tidak jauh beda dengan batik daerah lainnya. Hanya saja motif utama batik Jetis adalah beras tumpah dan daun tebu. Dimana motif tersebut bermakna kemakmuran.


Saya menghampiri salah satu toko batik di Jetis, Toko Wardhani namanya. Toko ini menjual kain dan baju batik hasil tangan pengrajin di Kampoeng Batik Jetis. Pegawai toko, Rosi, mengatakan kain batik di sini per meternya dibanderol mulai harga Rp 900 ribu hingga Rp 150 ribu. Harga tersebut tergantung motif dan jenis kainnya.

"Kampung ini paling ramai dikunjungi pada saat akhir pekan dan hari libur," ujarnya, Selasa (12/4/2016) Siang. Rosi mengatakan, paling ramai omset perbulan di toko Wardhani mencapai Rp 100 juta.

Di Kampoeng Batik Jetis bisa melihat langsung pembuatan kain batik sekaligus membelinya. Tidak ada waktu khusus di kampung ini, hanya saja para pengrajin dan toko rata-rata memulai aktifitasnya pukul 09.00 WIB hingga 21.00 WIB. (Tripnesian)



Monday 13 February 2017

Dari pusara hingga Rumah Wafat WR Soepratman di Surabaya

Patung WR Soepratman di halaman makam WR Soepratman, Surabaya, Minggu (24/4/2016).

Pusara itu berlindung di dalam pendapa bercorak jawa. Berhiaskan keramik, serta ukiran syair lagu kebangsaan di pusaranya. Di sudut halaman, berdiri sebuah patung sebagai penanda tempat terakhir Sang Komponis Bangsa.

Adalah Wage Rudolf Soepratman yang bersemayam di pusara itu. Seorang musisi sekaligus pahlawan nasional yang lahir di Somongari, Purworejo, Jawa Tengah, pada 9 Maret 1903 silam. Beliau yang menggubah lagu kebangsaan Indonesia Raya.

Perlu diketahui, ada dua versi mengenai tempat kelahirannya. Seperti dilansir harian Kompas di situsnya (link rujukan), ada kontroversi tempat kelahiran WR Soepratman. Dalam buku sejarah menyatakan Soepratman lahir di  Jatinegara, Jakarta. Sedangkan, warga Purworejo dan beberapa sumber lainnya meyakini bahwa Soepratman lahir di Desa Trembelang, Kelurahan Somongari, Purworejo. Perbedaan itu masih terjadi perdebatan hingga saat ini.

Soepratman wafat pada 17 Agustus 1938 di Surabaya. Awalnya, jasadnya dikebumikan di Kenjeran,  kemudian dipindahkan di Tambak Segaran Wetan, Rangkah, Surabaya. Tahun 2003, makam Pahlawan Nasional ini mengalami pemugaran, dan diresmikan oleh Megawati Soekarno Putri yang saat itu menjabat sebagai presiden.

Makam WR Soepratman nampak bersih dan terawat. Meski terbilang sepi, namun tiap harinya ada saja yang mengunjungi makam. Dibuka mulai pukul 08.00 WIB hingga 16.00 WIB. “Saat hari Pahlawan dan Kemerdekaan banyak pengunjung dari berbagai daerah datang ke sini,” ujar ," jelas Tamu Fitria, juru kunci makam WR Soepratman, Minggu (24/4/2016). 
 


Rumah Wafat
 
Rumah Wafat WR Soepratman di Surabaya (24/4/2016).
Wage Rudolf Soepratman adalah komponis Indonesia pertama yang menciptakan lagu-lagu perjuangan. Selain Indonesia Raya, ia juga membuat lagu lainnya, diantaranya Dari Barat Sampai ke Timur (1925), Bendera Kita (1927), Ibu Kita Kartini (1931) yang semula berjudul Raden Ajeng Kartini, Bangunlah Hai Kawan (1931), Indonesia Hai Ibuku (1927); dan tiga lagu lain yang diciptakan di Surabaya: Mars Parindra (1937), Mars Surya Wirawan (1937), dan Matahari Terbit (1938).

Lagu Indonesia Raya pertama kali dibawakan Soepratman pada Kongres Pemuda II (peristiwa Sumpah Pemuda) pada 28 Oktober 1928.  Adalah Sugondo Djojopuspito selaku Ketua Panitia kongres memberi kesempatan untuk tampil membawakan lagu Indonesia Raya. Dia membawakannya dengan gesekan biola.

Kala itu, hampir seluruh orang berdiri dan menyebut-nyebut sebagai lagu kebangsaan. Kebesaran Indonesia Raya pun dinyatakan oleh Presiden RI pertama Soekarno, “Setia kepada Indonesia Raya, setia kepada lagu Indonesia Raya yang telah kita ikrarkan sebagai lagu perjuangan”.

Soepratman sendiri, sejak Juli 1933 terus sakit-sakitan. Dia mulai mengurangi kegiatannya, dan menetap di Cimahi, lalu pindah ke Palembang. Hingga tahun 1937, ia dibawa oleh saudaranya ke Surabaya. Di rumah saudaranya itulah Soepratman menghembuskan nafas terakhir.

Rumah itu kini dijadikan museum Rumah Wafat WR Soepratman, terletak di jalan Mangga 21, Tambaksari, Surabaya. Di dalamnya terdapat duplikat biola yang dipakai WR Soepratman, artikel dan foto-foto perjalanannya semasa hidup.  Museum ini dibuka untuk umum pada hari Selasa hingga Minggu mulai pukul 09.00 WIB hingga 17.00 WIB. (Tripnesian)



Sunday 5 February 2017

Mengunjungi kerajinan jimbe di Blitar

Perajin sedang menghias jimbe di Blitar, Selasa (31/3/2015).

Selain terkenal dengan kerajinan batok atau tempurung kelapa, Kota Blitar juga terkenal akan kerajinan kayunya. Salah satunya adalah kerajinan jimbe, kerajinan ini tak hanya terkenal di dalam negeri saja, namun juga dikenal di beberapa Negara di Asia, Eropa, dan Amerika.

Kerajinan ini terpusat di Kecamatan Kepanjen Kidul, berjarak sekitar 2 km dari makam Presiden pertama Indonesia, Soekarno. Tidak diketahui secara pasti sejak kapan kerajinan ini ada di sana, namun menurut warga setempat kerajinan ini  sudah ada sejak puluhan tahun yang lalu.

Salah satu perajin kayu, Nursanti (43) mengatakan, awalnya perajin di Kepanjen membuat produk mainan anak, seperti yoyo. Sampai pada tahun 2000-an, banyak perajin yang gulung tikar karena sepi order, hingga akhirnya beralih ke produk alat musik.


Perajin sedang membuat jimbe di Blitar,
Selasa (31/3/2015).
“Awalnya ada turis dari Jerman yang berkunjung ke sini untuk memesan jimbe, dia membekali satu buah jimbe untuk dibuat patokan dalam membuatnya,” ujarnya, Selasa (31/3/2015) Siang. Dikatakan Nursanti, sebelumnya para perajin belum pernah membuat jimbe.

Saat ini, ada sekitar 150 pengrajin di kecamatan Kepanjen, meliputi desa Tanggung, Santren, dan Ngadirejo. Produk yang dihasilkan cukup beragam, diantaranya jimbe, calti, rebana, kendang, dan bedug. Namun, yang ramai dipesan adalah jimbe.

Jenis dan ukuran jimbe yang diproduksi mulai ukuran terkecil 12 cm hingga besar 1 meter. Sementara itu, jenisnya ada dua, yaitu jimbe polos tanpa lukisan dan jimbe lukis. Jimbe itu dilukis menggunakan cat tembok. Sedangkan untuk harganya berkisar antara Rp 8 ribu hingga 1.5 juta. Patokan harga tersebut sesuai ukuran dan lukisannya.

Nursanti mengatakan, saat ini jimbe yang diproduksi oleh pengrajin sudah tersebar di berbagai kota di Indonesia, yaitu Jakarta, Bandung, Solo, Yogyakarta, Malang, Jember, Surabaya, Bali, dan padang. Bahkan sampai ke luar negeri, diantaranya Korea, Tiongkok, Jamaica, dan Jerman.

“tiap seminggu sekali kita mengirim jimbe sebanyak 1500 buah ke Korea,” jelas wanita yang telah menekuni usaha kerajinan ini sejak 14 tahun yang lalu. (Tripnesian)



Wednesday 1 February 2017

Menghabiskan waktu di Hutan Bambu Surabaya

Pengunjung melintas di Hutan Bambu, Surabaya, Sabtu (30/4/2016)

Kawasan timur Surabaya ada destinasi  wisata yang bisa menjadi alternatif untuk mengisi akhir pekan. Adalah Hutan Bambu yang terletak di Jalan Marina Asri Keputih, Kecamatan Sukolilo.  Wisata alam buatan ini menyuguhkan suasana teduh nan asri di tengah cuaca panas Kota Surabaya. Sangatlah cocok sebagai tempat bersantai, melepas kepenatan dari rutinitas sehari-hari, dan hunting foto.

Ribuan pohon bambu itu tertata rapi, bersaf-saf membentuk lorong-lorong yang sangat indah dipandang. Tak heran, jika banyak pengunjung menjadikan hutan ini sebagai tempat berburu foto.

Seperti Rima (16), sering menghabiskan waktu bersama temannya di hutan bambu ini.  "Tempatnya nyaman, teduh, pas buat nongkrong bareng teman sambil selfie," katanya, Sabtu (30/4/2016) Sore. 


Hutan Bambu Surabaya (30/4/2016).
Tak jauh beda dengan Randy, fotografer asal Surabaya, selain menikmati suasana, dia datang ke hutan bambu untuk berburu foto. Menurutnya, obyek foto di sana sangat bagus, pohon bambu yang berjajar itu membentuk sebuah komposisi yang ciamik. 

"Tidak jarang saya gunakan tempat ini untuk hunting foto koleksi pribadi maupun prewedding," jelasnya.

Sebelumnya, hutan ini adalah tempat pembuangan akhir (TPA) Keputih. Sejak dipindahkan ke  Benowo, TPA tersebut beralih menjadi hutan bambu atas inisiatif warga setempat.

Salah satu pengelola hutan bambu, Avan, menjelaskan hutan bambu ini  secara tidak sengaja menjadi destinasi wisata di Surabaya. Awalnya, warga hanya berniat membersihkan dan memanfaatkannya untuk tempat tongkrongan warga setempat saja.


“Lambat laun hutan bambu ini diketahui masyarakat luas dari mulut ke mulut, lalu semakin banyak orang yang berkunjung ke sini," terangnya. Hingga saat ini hutan bambu yang dikelola oleh warga setempat ini masih dikunjungi banyak orang.

Dikatakan Avan, kebanyakan orang yang berkunjung ke sini adalah anak muda yang ingin bersantai dan hunting foto. Mereka betah berlama-lama di dalam hutan bambu. Serta banyak juga yang memanfaatkannya untuk pemotretan prewedding.

“Pas akhir pekan pengunjung bisa mencapai 100 hingga 150 orang," paparnya.

Wisata Hutan Bambu Surabaya ini bias dikunjungi setiap hari mulai pukul 10.00 WIB hingga 17.00 WIB. Asyiknya, pengelola tidak memungut biaya masuk, hanya saja membayar biaya retribusi parkir sebesar Rp 2 ribu untuk motor, dan Rp 5 ribu untuk mobil. (Tripnesian)