Monday 30 January 2017

Menyusuri lorong-lorong di Gua Akbar Tuban

Sejumlah pengunjung sedang menikmati suasana di Gua Akbar, Tuban, Minggu (5/4/2015).

Tuban, sebuah Kabupaten di pesisir utara Jawa Timur yang menyimpan keanekaragaman hayati dan budaya. Melancong ke sana, tujuannya bukan hanya tempat wisata sejarah, religi, dan pantai saja, tapi juga ada wisata gua yang layak dikunjungi. Bisa dibilang kota ini adalah Kota Seribu Gua.

Salah satunya adalah Gua Akbar yang terletak di Gedongombo, Kabupaten Tuban, satu lokasi dengan Pasar Baru. Konon, menurut cerita warga setempat, yang pertama kali menempati gua ini adalah putra dari Bupati Tuban ke 9, yakni Mas Sahid, atau Loko Joyo. diceritakan bahwa Mas Sahid diusir dari rumah karena bersifat buruk. Sebab itulah dia mendapat julukan Brandal Loko Joyo. dalam perjalanannya, dia bertemu dengan Sunan Bonang di sungai Sambung. Dalam pertemuannya itu, dia mengatakan tinggal di dalam gua yang saat ini disebut Gua Akbar.

Kini, gua tersebut dijadikan destinasi wisata di Tuban. Tidak sedikit wisatawan dari berbagai daerah yang berkunjung di Tuban menyempatkan mampir ke gua ini.


Gua ini memiliki stalaktit dan stalaknit yang tak kalah indah dengan gua lainnya di Jawa Timur. Sungai-sungai kecil mengalir di dalam goa, pun suara gemericik tetesan air menambah kesan nyaman saat menyusurinya.

Uniknya, di dalam gua ini terdapat lorong-lorong seperti labirin. Banyak persimpangan pada lorong-lorong tersebut, namun jangan khawatir tersesat, karena ada papan petunjuk jalan yang dipasang oleh pengelola. 


Suasana di salah satu sudut Gua Akbar, Tuban, Minggu (5/4/2015).

Selain itu, 50 meter sebelum pintu keluar kita akan menjumpai ruangan besar menyerupai ball room yang ada di mall. Sorotan cahaya matahari masuk melalui lubang berdiameter besar pada atapnya. Di tempat ini biasanya digunakan pengunjung untuk selfie.

Tak jauh dari ruangan itu,  ada tempat yang cocok untuk beristirahat setelah berjelajah. Terdapat tempat duduk yang terbuat dari kayu yang ditata berderet. Luasnya tidak begitu besar, tapi suasanya sangat nyaman dan sejuk. Di dalam gua juga terdapat ceruk-ceruk yang membetuk ruangan kecil, salah satuceruknya digunakan untuk mushola.

Tiap hari, gua ini tak pernah sepi dari pengunjung. Apalagi musim liburan, ratusan pengunjung dari berbagai daerah datang ke gua ini. Jarak Kabupaten Tuban dengan Kota Surabaya sekitar 101 Km, 2,5 jam perjalanan normal menggunakan kendaraan bermotor. Sedangkan untuk tiket masuk pengunjung dikenakan sebesar Rp 5 ribu per orang pada hari libur, dan Rp 4 ribu per orang pada hari aktif. (Tripnesian)



Friday 27 January 2017

Simpang Lima Gumul, simbol peradaban Kabupaten Kediri

Simpang Lima Gumul, Kediri, Senin (19/1/2015) Sore.

Siapa yang tidak kenal Monumen Simpang Lima Gumul (SLG)? Hampir seluruh masyarakat Jawa Timur, khususnya Kediri mengenal keberadaanya. Monumen ini menjadi salah satu ikon Kabupaten Kediri. Konon, pembangunannya terinspirasi oleh amanah Prabu Jayabaya, Raja Kediri yang memerintah pada abad 11 Masehi.

Masyarakat Kediri percaya pembangunan SLG terkait dengan Jongko Joyoboyo, atau yang dikenal dengan Ramalan Jayabaya. Ramalan yang dibuat oleh Prabu Jayabaya yang ingin menyatukan lima wilayahnya.

Ide pembangunan SLG dari Bupati Sutrisno pada tahun 2003, dan diresmikan pada tahun 2008. Bangunannya berada di proliman atau perlimaan, pertemuan lima jalan menuju ke Gampengrejo, Pagu, Pare, Pesantren, dan Plosoklaten. Secara administatif berada di Desa Tugurejo, Kecamatan Ngasem, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Sutrisno berharap pembangunan monumen ini bisa meningkatkan ekonomi masyarakat Kediri.


Serupa L'arc De Triomphe

Desain dan arsitektur monumen SLG sengaja dibuat menyerupai L'arc De Triomphe di Perancis, namun SLG lebih menonjolkan seni budaya Kabupaten Kediri.

SLG memiliki luas 805 meter dengan tinggi 25 meter. Pintu masuk monumen ada tiga, berupa lorong bawah tanah sedalam 3 meter. Angka luas dan tinggi itu dibuat sesuai dengan Hari Jadi Kabupaten Kediri, yakni 25 Maret 804 Masehi.


Sejumlah pengunjung melintas di lorong bawah tanah Simpang Lima Gumul, Kediri, Senin (26/1/2015) Sore.

Padang rumput hijau mengelilingi monumen. Di bagian dalam bangunan ada diorama tentang sejarah Kediri. Dinding bagian luarnya terdapat relief yang mangandung pesan pengingat masa lampau, masa kini, dan menghadapi masa depan. Terdapat pula patung Ganesha yang berada di sudut bangunan.

SLG menjadi destinasi wisata di Kabupaten Kediri. Tiap hari tidak pernah sepi dari pengunjung. Bukan hanya dikunjungi warga sekitar saja, tapi juga dari daerah lainnya. Biasanya mereka datang untuk menyaksikan kemegahannya secara langsung, berburu foto, dan menikmati suasana  di sana. Bisa dibilang, tempat wisata yang wajib dikunjungi di Kediri.

 
Monumen Simpang Lima Gumul buka tiap hari selama 24 jam. Asyiknya, tidak dipungut biaya masuk, hanya saja membayar parkir sebesar Rp 2 ribu untuk motor, Rp 3 ribu untuk mobil, dan Rp 5 ribu untuk bus. (Tripnesian)



Thursday 26 January 2017

Jalan-jalan ke Kampung Nelayan Kenjeran Surabaya

Sejumlah nelayan hendak melabuhkan perahunya di Nambangan, Surabaya, Jumat (6/3/2015) Siang.

Kampung Nelayan Kenjeran, sebuah kampung yang mayoritas warganya berprofesi sebagai nelayan yang terletak di sepanjang kawasan pesisir Kenjeran, Surabaya. Salah satunya di jalan Nambangan, Kecamatan Bulak, Surabaya. Di kampung ini kita bisa melihat lanskap pesisir Surabaya dan aktifitas nelayan.

Langit kelabu menyelimuti kawasan pesisir Surabaya Siang itu, Jumat (6/8/2015). Saya berdiri di tepi pantai Bulak, dimana warga Surabaya menyebutnya "Kenjeran Watu-watu". Terlihat siluet Jembatan Suramadu yang kokoh membentang di Selat Madura, menghias ratusan rumah serta perahu nelayan yang berjajar di tepian pantai Bulak.

Bagi saya, di situlah tempat terbaik untuk melihat lanskap Kampung Nelayan Bulak. Akan sangat indah dilihat jika cuaca cerah di pagi hari, terutama saat sunset.


Tak lama di sana, saya pun beranjak menuju Kampung Nelayan untuk melihat lebih dekat aktifitas di sana. Lokasinya tak jauh, hanya 200 meter dari tempat saya berdiri. Di tengah perjalanan, saya menjumpai Sentra Ikan Bulak (SIB). Bangunannya besar, berlantai dua. Bentuknya menyerupai perahu.

Di dalam SIB ada puluhan lapak yang menjual ikan hasil tangkapan nelayan, kerupuk ikan, kerajinan kerang, dan kuliner khas pesisir, seperti lontong kupang, sate kerang, dan ikan bakar.

Sesampai di Kampung Nelayan, tampak warga sedang sibuk dengan ikan hasil tangkapannya. Pria dan wanita berkumpul secara bergolongan. Ada yang mengambil ikan di perahu, memilih ikan, menjahit jaring, menguliti kerang, dan memeriksa ikan yang dijemur di halaman rumahnya. Di Kampung ini, pengunjung bisa melihat proses pengolahan ikan secara langsung sekaligus membelinya.


Nelayan sedang memeriksa ikan asin yang dijemur di Nambangan, Kenjeran, Surabaya, Sabtu (28/2/2015) Siang.

Ada berbagai jenis hasil laut yang ditangkap oleh nelayan di sana, diantaranya Ikan bulu ayam, ikan bulu mentok, tengiri, pari, keting, kerang burung, kerang hijau, kerang bulu, siput laut, terung, udang, kepiting, dan udang halus.

Warga di Kampung Nelayan cukup ramah. Sebagian besarnya adalah warga pendatang dari Madura. Suasananya cukup ramai, bisa dibilang kawasan padat penduduk.

Sekedar diketahui, kampung nelayan kini menjadi semakin cantik dan bersih semenjak dilakukan program perbaikan pesisir Surabaya oleh Pemerintah Kota. Salah satu programnya adalah mengecat permukiman di Kampung Nelayan Kenjeran. Meski belum seluruhnya rumah dicat, Kampung Nelayan Kenjterlihat berwarna-wani.

Kampung Nelayan Kenjeran cukup layak menjadi destinasi wisata di Surabaya. Hanya saja bau amis dari ikan tangkapan nelayan cukup mengurangi kenyamanan pengunjung. Sebab, pengolahan ikan di sini tidak ramah lingkungan. (Tripnesian)



Tuesday 24 January 2017

Mengunjugi Patung Budha Tidur di Mahavihara Majapahit Trowulan

Pekerja melintas di depan Patung Budha Tidur, Mahavihara Majapahit, Mojokerto, Minggu (18/12/2016).

Selain candi, ada satu lagi destinasi yang patut kita kunjungi di Mojokerto. Adalah Patung Budha Tidur yang berada di dalam komplek Mahavihara Majapahit, yang terletak di Desa Bejijong, Kecamatan Trowulan. Konon, patung ini terbesar ketiga di Asia.

Patung ini panjangnya mencapai 22 meter dengan tinggi 4,5 meter, berwarna kuning keemasan dan di keliling kolam ikan. Patung ini dibuat pada tahun 1993, digagas oleh Viriyanadi, Biksu senior di Mahavihara Majapahit.

Awalnya, Biksu Viriyanadi bermeditasi di petilasan Raden Wijaya, yakni Siti Inggil. Dalam meditasi itu ia mendapat petunjuk ke arah selatan, hingga menemukan lahan kosong di kawasan Desa Bejijong. Lahan tersebut ternyata bekas Candi Budha pada zaman Majapahit, dengan bukti arsip peninggalan Belanda yang tersimpan di Museum Nasional, Jakarta. Viriyanadi pun memutuskan untuk mendirikan Mahavihara Majapahit di lahan itu.

Selain bangunan vihara dan patung Budha tidur, di dalam komplek Mahavihara Majapahit ada miniatur Candi Borobudur yang dibuat persis seperti aslinya, dan terdapat pula rumah abu dengan sejumlah patung dewa yang diletakkan di halaman depannya.

Tempat ini tak pernah sepi dari pengunjung. Bukan hanya dikunjungi umat Budha saja, tapi juga dikunjungi wisatawan dari berbagai kalangan serta daerah.


Sejumlah Biksu mengelilingi Patung Budha Tidur dalam prosesi perayaan Waisak di Mahavihara Majapahit, Mojokerto, Selasa (2/6/2015) Malam.

Jika perayaan Waisak, tempat ini mendadak ramai. Rentetan acara seperti pertunjukan barongsai, donor darah, dan klinik kesehatan gratis, digelar oleh pengelola. Disamping itu pengunjung bisa menyaksikan prosesi upacara Waisak secara langsung. Salah satunya adalah prosesi Pradaksina, dimana para biksu beserta umat Budha lainnya berjalan mengelilingi Vihara dan patung Budha tidur.

Sedangkan untuk tiket masuk Mahavihara. Majapahit sebesar Rp 5 ribu per orang. Di sekitar lokasi ada lapak-lapak yang menjajakan makanan dan minuman.

Sementara itu, waktu tempuh Surabaya ke Mahavihara Majapahit hanya 2 jam saja menggunakan kendaraan bermotor. Aksesnya sangat mudah dan kondisi jalannya cukup baik, serta banyak papan petunjuk yang mengarah ke lokasi. Jika dari Surabaya, sekitar 300 meter dari lokasi kita akan menjumpai papan petunjuk berwarna merah bertuliskan Mahavihara Majapahit di kanan jalan. (Tripnesian)



Sunday 22 January 2017

Jembatan Suroboyo, destinasi wisata baru di Surabaya

Jembatan Suroboyo saat diuji coba, Kamis (7/4/2016) Sore.

Kawasan pesisir Kota Surabaya kini tampak berbeda. Di tangan Wali Kota Tri Rismaharini, wajah pesisir yang dulunya terlihat kumuh, kini berubah menjadi kawasan yang apik, dan menjadi destinasi wisata baru di Surabaya.

Salah satunya adalah kawasan pesisir Kenjeran. Sejak dibangunnya Jembatan Suroboyo, atau yang disebut Jembatan Air Mancur Menari, kawasan Kenjeran terlihat cantik. Jembatan ini berada di jalan Raya Pantai Lama.

Jembatan Suroboyo diresmikan oleh Risma pada Sabtu Malam, (9/7/2016). Jembatan ini memiliki panjang 800 meter menjorok ke laut. Bentuknya seperti busur dengan air mancur warna-warni yang menari di tengahnya. Selain itu, pengunjung dimanjakan dengan lagu-lagu khas Kota Surabaya, dan musik instrumental klasik yang diputar secara beriringan dengan air mancur.

Namun sayangnya, pertunjukan air mancur menari itu diputar pada hari dan jam tertentu saja, yakni pada hari sabtu, mulai pukul 20.00 WIB.

Sementara itu, untuk melihat view jembatan dari atas, bisa dari anjungan yang berada di pintu masuk dan di tengah jembatan. Khusus di anjungan tengah jembatan ada peraturannya, yakni tidak boleh memakai rok tinggi dan sepatu hak tinggi, serta tidak boleh dinaiki oleh anak-anak tanpa pengawasan. Sebab anjungan ini berlantai dua dengan lantai transparan,  jika menggunakan rok tinggi akan terlihat dan menggangu orang yang berada di bawah. Disamping itu lantai anjungan ini cukup licin dan anginnya sangat kencang, dikhawatirkan akan terpeleset jika memakai sepatu hak tinggi.

Jembatan ini juga menjadi spot terbaik melihat sunrise. Rona fajar sampai terbitnya matahari tampak indah dilihat di sana. Tidak sedikit pengunjung dan para pemburu foto mengambil momen sunrise di jembatan ini.

Disamping itu, tepat berada di sebelah Jembatan Suroboyo ada sebuah taman yang bisa dijadikan spot untuk melihat sunrise. Di dalam taman itu juga ada arena bermain anak, lapangan futsal, dan pertunjukan musik. Tiket masuk masuk taman ini sebesar Rp 10 ribu per orang.

Jembatan Suroboyo buka tiap hari. Asyiknya, untuk menikmati keindahan air mancur menari dan sunrise di sana tidak dipungut biaya masuk. (Tripnesian)



Saturday 21 January 2017

Mengunjungi Eng An Kiong, klenteng tertua di Malang

Pengunjung melintas di klenteng Eng An Kiong di Malang, Minggu (31/1/2016).

192 tahun silam, saudagar dari Tiongkok, Lt Kwee Sam Hwai, datang ke Malang untuk mencari peruntungan. Sebagai wujud syukur telah diberi keselamatan, ia membangun sebuah klenteng yang diberi nama Eng An Kiong, yang berarti Istana Keselamatan Yang Abadi.

Sebuah papan bertuliskan ratusan nama orang tertempel di dalam klenteng, nama para penyumbang dana dari warga Tiongkok yang bermukim di kawasan klenteng.

Pembangunannya dilakukan secara dua periode. Awalnya membangun ruangan tengah pada tahun 1825. Menyusul bangunan lainnya pada tahun 1895, pembangunan ini berlangsung hingga tahun 1934.

Sebagian besar arsitekturnya bergaya Tiongkok, dengan sedikit sentuhan Eropa pada tiang-tiangnya. Bagian atap klenteng berjenis atap pelana dengan ujung yang melengkung ke atas, atau juga disebut Ngang Shan. Jika dilihat sekilas bentuknya menyerupai sebuah kapal.

Di dalam klenteng ada beberapa ruangan peribadatan, dengan hiasan puluhan lampion yang menggantung di langit-langitnya. Selain itu juga ada pagoda kecil berwarna kuning, dan sejumlah patung dewa, diantaranya Dewa Bumi yang terletak di altar induk. Patung itu berasal dari Tiongkok yang dibawa dengan tandu kayu jati berlapis kertas emas yang masih ada hingga saat ini.


Pengunjung melintas di ruangan tengah klenteng Eng An Kiong di Malang, Minggu (31/1/2016).

Sementara itu, warna klenteng didominasi merah dan kuning, dimana kedua warna itu memiliki arti, yaitu merah yang berarti keberanian, kebahagiaan dan kehidupan, sedangkan kuning bermakna keagungan.

Konon, Kwee Sam Hwai adalah keturunan ketujuh dari seorang jendral dari zaman Dinasti Ming. Kala itu, seorang Kapiten, keturunan kelima jendral tersebut, berlabuh di Jepara. Lalu, dia menikah dengan wanita keturunan Sumenep, Madura. Lt Kwee Sam Hwai adalah cucu dari Kapiten itu.

Klenteng bukan hanya tempat keagamaan saja, namun juga ungkapan lahiriah masyarakat yang mempercayainya.

Klenteng Eng An Kiong berada tidak jauh dengan Pasar Besar, yakni di jalan Martadinata, Kota Malang, Jawa Timur. Hingga saat ini masih digunakan untuk beribadah umat Khonghucu, Tao, dan Budha. Klenteng ini ramai dikunjungi saat perayaan Imlek dan hari besar Khonghucu lainnya. Siapapun boleh mengunjunginya, tak terkecuali penganut agama lain. (Tripnesian)



Friday 20 January 2017

Mengunjungi kerajinan Topeng Malangan

Sejumlah Topeng Malangan di Padepokan Asmorobangun, Malang, Rabu (20/1/2016).

Tri Handoyo, seniman tari dan pengrajin Topeng Malangan di Kabupaten Malang. Dia meneruskan jejak dari mendiang kakeknya, Mbah Karimun, seniman tari yang mendapat penghargaan sebagai Maestro Seni Tradisi dari Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, Jero Wacik, pada 2007 lalu.

Suasana pedesaan nan asri mengantarkan saya ke Padepokan Asmorobangun. Sebuah padepokan yang didirikan oleh Mbah Karimun pada 1978 silam di Desa Kedung Monggo, Kecamatan Pakisaji, Kabupaten Malang, sebagai tempat berkumpulnya penari Topeng Malangan. Pun digunakan sebagai ‘bengkel’ pembuatan topengnya.

Tidak terlalu jauh dari gapura desa, sekitar 10 menit saya sampai di padepokan. Di dalamnya ada bangunan serupa galeri yang ukurannya tak begitu besar. Tepat di belakangnya, berdiri pendopo yang biasanya digunakan untuk latihan dan pertunjukan tari.


Di dalam galeri terlihat Tri Handoyo sedang sibuk membuat topeng. Melihat saya berjalan menghampirinya, ia pun menghentikan kegiatannya, lalu menyapa saya. Perkenalan berlanjut obrolan tentang Topeng Malangan di Kedung Monggo.

Dalam obrolan itu, dia mengatakan, mulai belajar menari dan membuat topeng saat masih duduk di bangku sekolah dasar, diajarkan langsung oleh Mbah Karimun.

“Hati saya merasa terpanggil untuk meneruskan budaya ini,” terangnya di galeri Padepokan Asmorobangun, Rabu (20/1/2016) Siang.
 

Tri Handoyo sedang membuat Topeng Malangan di Padepokan Asmorobangun, Malang, Rabu (20/1/2016) Siang.

Handoyo saat ini mampu membuat 76 karakter penokohan dalam Topeng Malangan. Tokoh utamanya adalah Panji Asmorobangun dan Putri Sekartaji. Dikatakannya, warna dasar Topeng Malangan adalah merah, putih, kuning, hitam, dan hijau. Dalam tiap warnanya memiliki makna, yakni merah yang berarti keberanian, putih melambangkan kesucian, hitam adalah kebijaksanaan, kuning menyimbolkan kesenangan, dan hijau bermakna kedamaian.

Ada dua jenis topeng yang dibuatnya yakni, topeng pertunjukan dan aksesoris. Keduanya yang membedakan adalah bahan bakunya, untuk aksesoris terbuat dari kayu sengon, sedangkan pertunjukan berbahan baku dari kayu nangka, beringin, mentaos, dan kembang.  Keseluruhan produk dihargai mulai Rp 8 ribu hingga Rp 1 Juta, harga tersebut menyesuaikan ukuran, bahan dan tingkat kesulitannya.

Hasil kerajiannya itu tidak hanya beredar di pasar domestik saja, tapi sudah masuk ke pasar internasional. Handoyo mengatakan, ada beberapa pembeli dari luar negara yang memesan topeng buatannya, antara lain dari Rusia, Belanda, Amerika, Inggris, Australia, Jepang, dan Thailand.

“Dalam tiap bulan saya mengirim 20 topeng ke Rusia,” tutupnya. (Tripnesian)



Tuesday 17 January 2017

Berburu di Pasar Burung Bratang

Sejumlah pengunjung mengamati koleksi burung di lantai bawah pasar burung Bratang, Surabaya, Senin (14/3/2016).

Awan mendung menyelimuti Kota Surabaya siang itu. Lalu-lalang pengunjung nampak memenuhi lorong-lorong gang. Pun, ribuan kicau burung terdengar riuh bersautan, sebagai penanda di Pasar Burung Bratang.

Mungkin bagi sebagian besar orang, khususnya pecinta burung di Surabaya, tidak asing dengan pasar ini. Keberadaannya sudah dikenal sejak tahun 1980 lalu. Bisa dibilang, pasar burung ini adalah yang terbesar di Kota Surabaya.

Berbagai jenis burung hias maupun kicau dijual di pasar ini, seperti love bird, burung hantu, gagak, parkit, burung gereja, nuri, kutilang, perkutut, kenari, kacer, cendet, muray, macaw, cucak hijau, cucak rowo, dan masih banyak lagi burung jenis lainnya. Harganya pun variatif, mulai dari ribuan hingga puluhan juta rupiah.

Pasar burung Bratang terbagi menjadi dua bagian, yakni lantai bawah dan atas. Masing-masing lantai menjual jenis burung yang berbeda. Lapak-lapak di lantai bawah sebgaian besar menjual jenis burung hias, seperti burung parkit, gereja, nuri, dan burung hantu. Sedangkan di lantai atas menjual burung kicau, seperti kenari, cended, kacer, muray, dan cucak rowo.

Saya mencoba menghampiri dan bertanya ke salah satu pemilik lapak di lantai bawah. Namanya Sabar (39), dia mengatakan lantai bawah kebanyakan menjual burung yang harganya tergolong murah.

"Pecinta kicau yang dompetnya tebal biasanya langsung naik ke lantai atas," ujarnya, sembari melayani pembeli, Senin (14/3/2016).

Pasar burung yang terletak di jalan Bratang Binangun ini juga menjual makanan burung, dan terdapat pula pengrajin sangkar yang berada di lantai bawah. Biasanya sebagian pengunjung sekaligus membeli makanan dan sangkar burung di sini.

Ada sekitar 5 pengrajin, salah satunya adalah Abdul Hamid (38), pria asal Madura ini sudah puluhan tahun menggeluti usaha kerajinannya di pasar burung ini.

"Satu sangkar kayu jati harganya 300 ribu rupiah," jelasnya. Sebagian besar sangkar yang diproduksi oleh pengrajin di pasar ini terbuat dari kayu jati.

Cakupan pasarnya pun tidak hanya di pasar burung Bratang saja, tapi sudah meluas ke berbagai daerah, diantaranya Kediri, Pasuruan, Probolinggo, Makassar, dan Bengkulu. (Tripnesian)



Antara Candi Penataran dan kisah perjalanan Bujangga Manik

Sejumlah pengunjung melintas di Candi Angka Tahun yang berada di dalam komplek Candi Penataran, Blitar, Selasa (31/3/2015). Candi ini digunakan sebagai lambang Kodam V Brawijaya.

Candi Penataran adalah sebuah gugusan candi bercorak Hindu yang terletak di Desa Penataran, Kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar, Jawa Timur. Sejatinya candi ini bernama Candi Palah yang dibangun pada masa Raja Srengga dari Kerajaan Kediri, sekitar tahun 1200 Masehi. Dahulunya, candi ini digunakan sebagai tempat pemujaan agar terhindar dari bencana yang disebabkan oleh gunung Kelud.

Suasana pedesaan nan asri mengiringi perjalanan saya ke candi Penataran. Jalanan cukup baik, dan berhawa sejuk . Tiba di sana, terlihat gugusan candi yang kokoh berdiri di atas tanah seluas 12.946 meter persegi. Bangunannya terbagi menjadi 3 halaman, yakni depan, tengah, dan belakang.

Halaman depan terdapat arca dwarapala yang terbuat dari batu andesit,lalu melangkah lebih dalam ada Bale Agung dan pendopo teras yang terbuat dari batu andesit. Berikutnya terdapat Candi Angka Tahun atau yang dikenal dengan candi Brawijaya, dimana candi ini digunakan sebagai symbol Kodam V Brawijaya.


Di halaman tengah juga terdapat arca dwarapala, namun ukurannya lebih kecil dari arca yang berada di halaman depan. Selanjutnya ada Candi Naga, dan pondasi bata berukuran 10 x 20 meter yang berdenah bujur sangkar, diperkirakan pondasi bata adalah bekas gapura paduraksa.

Sedangkan di halaman belakang terdapat Candi Utama yang terdiri dari 3 teras tersusun dengan tinggi 7,19 meter. Dinding-dindingnya terpahat cerita Ramayana, Krçnayana, serta naga dan singa bersayap pada teras ketiga. Di halaman ini juga terdapat Prasasti Palah berangka tahun 1119 Saka atau 1197 Masehi, yang bertuliskan “menandakan Kertajaya berbahagia dengan kenyataan tidak terjadi sirnanya empat penjuru dari bencana”, dari kalimat ”tandhan krtajayayåhya / ri bhuktiniran tan pariksirna nikang sang hyang catur lurah hinaruhåra nika”.



Sejumlah pengunjung berjalan di komplek halaman belakang candi Penataran, Blitar, Selasa (31/3/2015).

Mendengar nama “Palah”, saya teringat akan sebuah naskah kuno berbahasa Sunda yang dikenal dengan “Naskah Bujangga Manik”, sekitar abad 15. Naskah tersebut ditulis oleh Bujangga Manik atau Ameng Layaran, nama samaran dari Prabu Jaya Pakuan dari keraton Pakuan Pajajaran, Ibukota Kerajaan Pajajaran.  Dia menulis perjalananya ke tanah Jawa dan Bali, berbentuk puisi naratif yang terdiri dari 1758 baris dengan daun nipah. Bisa dibilang dia adalah penyair Indonesia yang pertama kali menggambarkan geografi pulau Jawa dan Bali.

Di dalam naskah tersebut menyebutkan 450 nama tempat yang membentang dari Sunda hingga pulau Bali, salah satu diantaranya adalah Rabut Palah atau Candi Palah. Dalam perjalanannya ke tanah Jawa, dia singgah di Candi Palah selama setahun, di sana dia belajar ilmu agama dan bahasa Jawa. Berikut transliterasi naskahnya: 


“Sadatang ka Gunung Ka(m)pud,
datang ka Rabut Pasajen.
Eta hulu Rabut Palah,
kabuyutan Majapahit,
nu dise(m)bah ku na Jawa.”

(Sesampai di Gunung Kampud,
aku datang ke Rabut Pasajen.
Tempat ini dataran tinggi Rabut Palah,
tempat suci Majapahit,
yang dimuliakan oleh orang Jawa)

“Maca (a)ing Darmaweya,
pahi deung Pa(n)dawa Jaya.
Ti inya lunasing jobrah,
aing bisa carek Jawa,
aing ngaro basa. “

(Aku membaca Darmaweya,
juga Pandawa Jaya.
Setelah itu keingintahuanku terpuaskan,
aku dapat bicara bahasa Jawa,
juga mampu menerjemahkannya)

“Di inya aing teu heubeui,
satahun deung sataraban.”

(Di sana aku tidak tinggal terlalu lama,
selama satu tahun lebih)


“Ha(n)teu betah kage(n)teran,
datang nu puja ngancana,
nu nye(m)bah ha(n)teu pegatna,
nu ngideran ti nagara.”

(Aku tidak tahan suara yang terus bunyi,
yang datang untuk beribadah dan mempersembahkan emas,
yang beribadah tanpa henti,
berkelana di sekitar ibukota)


Di dalam naskah tersebut tertulis “gunung Kampud” yang saat ini disebut dengan gunung Kelud. Perjalanan Bujangga Manik berakhir di Gunung Patuha, di sana dia bertapa hingga akhir hayatnya.

Naskah Bujangga Manik pertama kali ditemukan oleh saudagar dari Newport, Andrew James, pada tahun 1627. Kemudian, Andrew James menyerahkannya pada perpustakaan Bodley, Universitas Oxford, Inggris. Hingga saat ini naskah Bujangga Manik masih tersimpan di sana. (Tripnesian)



Wednesday 4 January 2017

Mengunjungi Kampung Reog di Surabaya

Patung pemain reog yang terletak di pintu masuk Kampung Reog,, Surabaya, Sabtu (19/3/2016).

Siapa yang tak kenal Reog? Hampir seluruh masyarakat Indonesia mengenal  kesenian yang berasal dari Ponorogo, Jawa Timur ini. Reog menjadi salah satu identitas budaya Indonesia, meski secara resmi belum diakui oleh Unesco sebagai warisan budaya dunia.

Keberadaanya saat ini tidak hanya ditemui di Ponorogo saja. Banyak kelompok kesenian reog bermunculan di berbagai daerah di Indonesia, salah satunya di kota Surabaya. Adalah Kampung Reog yang terletak di jalan Kertajaya, di dalam kampung ini ada sebuah kelompok yang bernama Reog Singo Mangku Joyo. 


Kelompok kesenian itu tidak hanya mampu menampilkan pertunjukan Reog saja, namun juga membuat topengnya. Salah satu senimannya, Wawan, mampu membuat topeng berbagai karakter penokohan Reog.

Keahliannya itu ia tekuni sejak tahun 2006 lalu. Berawal dari sang istri, Susan, ide bisnis kerajinan topeng ini muncul. Kala itu, Susan membuatkan topeng ganongan yang terbuat dari kertas untuk buah hatinya. Topeng buatan Susan itu terlihat bagus, Wawan pun mengajaknya membuat topeng berbagai tokoh untuk dijual.


Topeng buatan mereka diterima dengan baik oleh masyarakat, pesanan pun mulai berdatangan. Hingga saat ini Wawan berhasil memasarkan topengnya di berbagai daerah, seperti Surabaya, Sidoarjo, Lamongan, dan Tarakan di Kalimantan.


Foto kiri: Wawan sedang mengecat topeng ganongan di rumahnya, Kampung Reog, Surabaya, Sabtu (19/3/2016). Foto kanan: Sejumlah topeng buatan Wawan di Kampung Reog, Surabaya, Sabtu (19/3/2016).

Saat saya mengujungi rumahnya, Wawan nampak sibuk membuat topeng. Puluhan topeng ganongan berwarna merah dan kuning berjajar memadati ruangan. Tak mau melewatkan momen, saya pun mengambil kamera DSLR untuk mengabadikannya.

Topeng buatan Wawan ini terbuat dari dua bahan dasar yang berbeda, yakni kertas dan kayu. Tentu perbedaan bahan itu juga menentukan besaran harganya. Topeng Bujang Ganong berbahan kertas dibanderol Rp 25 ribu per buah, sedangkan yang berbahan dasar kayu dihargai Rp 75 ribu per buah.

"Proses pembuatan topeng Bujang Ganong berbahan kertas memakan waktu tiga hari, sedangkan bahan kayu prosesnya satu bulan," ujar Wawan, sembari mengecat topeng di rumahnya, Sabtu(19/3/2016).

Wawan dan Susan tidak hanya membuat topeng reog saja, mereka juga menerima pesanan pernak pernik tari Reog, barongsai, dan perlengkapan kesenian jaranan. Pernak-pernik tersebut ia hargai mulai Rp 25 ribu hingga 500 ribu.  (Tripnesian)