Monday, 26 December 2016

Toko Oen melintasi zaman

Pekerja merapikan kursi di Toko Oen, Malang, Rabu (18/5/2016).

Tak kalah dengan daerah lainya, Kota Malang juga mempunyai menu kuliner legendaris. Adalah Toko Oen yang menyajikan es krim sebagai menu utamanya. Terletak di jalan Basuki Rahmat, Toko Oen berdiri sejak zaman kolonial Belanda.

Perjalanan saya siang itu berhenti di tengah Kota Malang. Di sudut jalan nampak sebuah restoran es krim, bangunannya bergaya khas zaman kolonial Belanda. Terlihat menarik, saya pun berniat mengunjunginya.

Masuk ke dalam restoran saya disambut oleh seorang pelayan berpakaian kemeja putih dengan celana hitam. Setiba di meja bartender saya disodori daftar menu. Ada puluhan olahan es krim yang tertulis di dalam daftar tersebut. Merasa bingung, saya pun bertanya kepada pelayan.

"Menu es krim apa yang bahan dasar dan rasanya masih sama sejak zaman Belanda?" tanyaku. "Semuanya masih asli mas komposisi dan rasanya," jawab pelayan itu. "Oh kalau begitu saya memesan menu yang paling banyak dipesan oleh pengunjung saja," tanggapku. "Sony Boy kalau begitu, mau pesan berapa porsi?" tanya pelayan itu. "Sementara satu porsi aja dulu mbak," jawabku. "Oh iya mas, silahkan memilih tempat duduk," ujar pelayan itu, lalu saya pun pergi memilih tempat duduk.



Sony Boy adalah salah satu es krim favorit pengunjung  di Toko Oen. Es krim ini berbahan dasar vanila, strawberry, coklat, mocca, cocktail, dan gula jawa.

Tak lama menunggu, pesanan saya pun datang diantar oleh pelayan. Tampilan es krimnya sangat menarik dan terlihat segar, meski menurut saya bukan tampilan baru alias lawas. Setelah mengabadikannya lewat kamera, saya pun melahapnya.

Perpaduan rasa dari bahan dasarnya lumer di mulut, teksturnya pun sangat lembut, meninggalkan kesan dari setiap sendoknya. Pantas saja Sony Boy dihargai Rp 40 ribu per porsi.


Foto kiri: Portrait dua pelayan di Toko Oen, Malang, Rabu, (18/5/2016). Foto kanan: Seporsi Sony Boy di Toko Oen, Malang, Rabu (18/5/2016).

Sembari menikmati menikmati es krim, pandangan saya menjelajah di setiap sudut ruangan. Saya memilih tempat duduk tepat di tengah ruangan agar bisa leluasa melihat isi ruangan.

Pada salah satu sudut ruangan terpasang banner panjang bertuliskan bahasa Belanda "Welkom in Malang, Toko “Oen” Die Sinds 1930 Aan De Gasten Gazelligheid Geeft”, jika diartikan dalam bahasa Indonesia adalah “Selamat Datang di Malang, Toko “Oen” sejak tahun 1930 telah memberikan suasana yang nyaman".




Seperti bangunan zaman kolonial Belanda lainnya, Toko Oen memiliki langit-langit bangunan yang tinggi, dengan pintu dan jendela yang besar. Begitu juga dengan sejumlah perabotnya seperti meja dan kursi bergaya khas Eropa. Pun beberapa ornamen yang memperkuat suasana tempo dulu.

Membaca sejumlah artikel yang ada, konon Toko Oen dahulunya menjadi jujugan para meneer dan mevrouw , kaum borjuis Belanda untuk berpesta.

Awalnya Toko Oen adalah toko kue kering di Yogyakarta pada tahun 1910. Pendirinya adalah Liem Gien Nio, wanita keturunan Cina. Berselang 12 tahun berkembang menjadi restoran es krim yang diberi nama "Toko Oen Ice Cream Palace Patissier". Sedangkan nama Oen diambil dari nama suaminya, yakni Oen Tjoen Hok.

Menilik dari website internalnya, Tak disebutkan kapan Toko Oen cabang Malang didirikan. Hanya saja pada tahun 1934 membuka cabang di Batavia (Jakarta). Setahun kemudian membuka cabang di jalan Bodjong, Semarang.

Cabang di Jakarta tutup pada tahun 1973. Sementara itu, Toko Oen di Malang kini sudah beralih kepemilikan. Kini, hanya di Semarang yang masih dikelola oleh keturunan asli keluarga Oen. (Tripnesian)



Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment