Wednesday 16 November 2016

Menghampiri Raja Kerdil di Candi Bajang Ratu Trowulan

<img src='tripnesian_candi-bajang-ratu_01.jpg' width='100' height='100' alt='candi bajang ratu mojokerto'/>
Pengunjung mengabadikan momen di Candi Bajang Ratu, Trowulan, Mojokerto (18/9) Pagi.

TROWULAN, 18 September 2015 - Kala itu pagi datang tepat waktu, usai menghabiskan malam yang hampir tak tersisa. Melaju cepat berpacu dengan matahari. 60 km/jam lebih cepat 80 km/jam bahkan terkadang 100 km/jam. Agar tiba di tempat sebelum matahari tiba.

Sesuai dengan harapan, aku lebih dulu tiba. Di depan mata tampak silhouette bangunan yang berselimut kabut. Ya, tak lain adalah Candi Bajang Ratu, yang menjadi alasan ku melakukan perjalanan sejauh 64 Km Surabaya - Trowulan.

Berselang waktu yang tak lama matahari pun menampakkan wajahnya. Secara perlahan menerangi candi dengan padang rumput yang luas. Pun, Satu-persatu detil ukiran candi mulai terlihat. Ukiran-ukiran khas bercorak Hindu-Budha.


Menilik dari website Perpustakaan Nasional (perpusnas) Republik Indonesia, candi berbentuk persegi ini adalah peninggalan Kerajaan Majapahit. Dibangun antara abad ke-13 dan 14 Masehi. Majapahit pada masa itu dipimpin oleh raja kedua, yakni Jayanegara.

Candi yang memiliki tinggi 16,1 dan panjang 6,74 meter ini sebagian besar terbuat dari batu bata merah. Pada masing-masing sisi yang mengapit anak tangga terdapat hiasan singa dan binatang bertelinga panjang. Di dinding kaki yang mengapit tangga terpahat relief Sri Tanjung. Sedangkan di kiri dan kanan dinding bagian depan yang mengapit pintu ada relief Ramayana. Serta relief kepala kala yang menghias di atas ambang pintu candi.
 
Belum puas dengan literatur itu, timbul keinginan untuk bertanya pada juru kunci yang berada di pos pintu masuk. Sugeng namanya, pria paruh baya yang sudah puluhan tahun menjadi juru kunci di candi ini. Ia mengatakan bahwa candi ini adalah bentuk penghormatan kepada Jayanegara.

“Dilihat dari bentuknya yang bertipe paduraksa atau gapura beratap, maka fungsinya adalah sebagai gapura pintu masuk bangunan suci. Candi ini juga penghormatan atas meninggalnya Jayanegara,” ucap Sugeng sembari menghisap batang rokoknya, (18/9) Siang.


Sama dengan apa yang dicatat oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (kemdikbud) dalam websitenya. Kemdikbud mencatat bahwa fungsi candi Bajang Ratu diduga sebagai pintu masuk ke sebuah bangunan suci, dan juga untuk memperingati wafatnya Jayanegara pada tahun 1312 Saka.

Sementara itu, dalam catatan Perpusnas mengatakan nama Bajangratu pertama kali disebut pada tahun 1915, yakni dalam buku berbahasa Belanda Oudheidkunding Verslag (OV). Disamping itu, Arkeolog Sri Soeyatmi Satari menduga nama tersebut berhubungan dengan Raja Jayanegara, karena kata 'bajang' berarti kerdil. Menurut Kitab Pararaton dan cerita rakyat, Jayanegara dinobatkan sebagai Raja saat masih berusia bajang atau masih kecil, Sehingga gelar Ratu Bajang atau Bajang Ratu melekat padanya.


Selain itu juga ada yang beranggapan bahwa candi atau gapura Bajang Ratu adala gapura menuju keraton Majapahit.
 

Meski demikian, belum ada penjelasan yang pasti tentang siapa yang membangun, atas perintah siapa dan kapan candi ini dibangun. Hingga sekarang masih menjadi misteri.

<img src='tripnesian_candi-bajang-ratu_07.jpg' width='100' height='100' alt='candi bajang ratu mojokerto'/>
Pengunjung mengabadikan momen di Candi Bajang Ratu (18/9) Siang.

Letak candi Bajang Ratu di Dukuh Kraton, Desa Temon, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, sekitar 600 meter dari Candi Tikus. Dibuka untuk umum mulai pukul 07.00 hingga 16.00 WIB, kecuali hari libur buka hingga pukul 17.00 WIB. Pengunjung dikenakan tarif tiket  masuk sebesar Rp 3 ribu untuk dewasa dan Rp 1500 untuk anak-anak.

Tak sedikit pengunjung yang datang ke candi Bajang Ratu. Mulai dari wisatawan, pelajar, budayawan hingga para peneliti. Terlebih pada hari libur, jumlah pengunjung meningkat 50% dari hari aktif. (Tripnesian)



Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment